Cerpen: PERTEMUAN

Jumat, 23 Desember 2016


pinterest

         Gadis itu berbaring telungkup dengan sebuah guling sebagai sandaran sikunya. Matanya terus menyorot layar bercahaya dari ponsel yang ada di tangannya. Sesekali ia menggunakan ibu jari atau telunjuk untuk menggeser layar ponsel naik dan turun. Hingga tidak terasa sudah berapa kali jarum jam berputar menyedot waktu.
         Tiba-tiba saja, matanya membelalak. Mulutnya menganga luas bak gunung yang ingin memuntahkan lahar. Ia mengepalkan salah satu tangannya lalu dengan suara yang tertahankan, ia berteriak. Sekali lagi ia tatap layar ponselnya yang terus bercahaya itu. Entah apa yang dilihatnya, namun setelah itu ia terus tersenyum sepanjang hari.

***

         “Kamu tahu? Dia menghubungiku lagi.” Ucap gadis itu pada temannya lewat sambungan telepon.
         “Benarkah? Dia bilang apa?”
         Gadis itu diam. Ia hanya tersenyum, sembari mengingat lagi apa yang baru dibacanya 15 menit yang lalu.
         “Astaga, Dea! Kamu bahkan tidak mau cerita?”
         “Bukannya begitu. Dia mengucapkan selamat ulang tahun padaku.”
         Kini giliran temannya yang tercenung di seberang sana.
         “Mungkin kamu menganggapnya sepele. Tapi bagaimanapun juga, itu berarti bahwa dia masih mengingatku. Dia masih memikirkanku.” Jelas gadis bernama Dea itu lagi. Kali ini ia tidak dapat menyembunyikan suaranya yang begitu melengking.
         “Kamu yakin? Mungkin saja dia tidak sengaja aktif, lalu melihat notifikasi kalau ulang tahunmu hari ini. Lagi pula, ketika seseorang mengucapkan selamat ulang tahun padamu, bukan berarti ia masih memikirkanmu. Mungkin saja saat itu kamu sepintas terlewat di benaknya. Tidak ada arti apa-apa.”
         Mendengar reaksi temannya, Dea mendengus kesal.
         “Tidak mungkin. Aku yakin kalau dia masih ingat padaku dan ulang tahunku.” Tegas Dea. Ia lantas mematikan sambungan telepon secara sepihak.

***

         Dea berjalan malas menuju tempat duduknya. Hari masih sangat pagi untuk murid datang ke sekolah. Namun, ia mengenakan seragam yang begitu rapi telah duduk di kursi dengan tenang. Diam-diam ia mencuri pandang ke kursi yang ada di sebelahnya. Apa anak itu akan masuk hari ini? Itu yang selalu Dea pikirkan. Nyatanya, teman sebangkunya yang bernama Danu itu selalu masuk. Setiap hari, kecuali di hari Minggu. Ia bahkan menjadi salah satu anak rajin dan pandai di kelas. Kebanyakan murid menyukai dirinya, sebab ia begitu humoris dengan candaannya–yang tak jarang justru terlihat aneh dan membosankan–namun tetap mengundang tawa di antara kawan-kawannya. Sayang, itu tidak berlaku pada Dea.
         Ketika guru menyuruhnya untuk duduk sebangku dengan Danu, itulah saat di mana Dea begitu merasa terhukum. Ia benar-benar terganggu dengan watak Danu yang sering bicara–meskipun pada mulanya Danu adalah anak yang pendiam–ditambah dengan sikap kritisnya yang suka mengomentari apa saja yang dilihatnya. Hal itu kerap membuat Dea tak betah berlama-lama duduk di sampingnya.
         Walaupun begitu, seakan tidak peduli dengan perilaku Dea terhadapnya. Danu tetap menyapanya ramah ketika bertemu. Walau kadang ia ragu untuk mengajak Dea bercanda, ia tetap meluapkan lelucon-leluconnya meski akhirnya akan selalu sama: tampang sinis Dea menatap Danu seolah berkata ‘Apanya yang lucu? Dasar aneh!’.
         Tetapi, bagaimanapun dalamnya palung pasti ada dasarnya juga. Begitu pula dengan kesabaran Danu. Kadang kala pabila kering hatinya, ia tidak akan mengganggu Dea. Ia akan mendiamkannya seolah mengungkapkan, ‘Beginilah yang kamu mau, bukan?’. Kalau sudah begitu, Dea sendiri yang akan merasa bersalah dan risih. Bagaimana tidak? Anak lelaki yang biasanya sangat lincah ini tiba-tiba jadi beku serupa patung. Maka, Dea pun akan mencoba mengajaknya bicara. Sedikit demi sedikit. Kemudian, mereka berteman. Lalu, Dea akan kembali kesal. Begitulah, cerita mereka selalu terulang.
         Itu terjadi ketika mereka masih berusia sekitar 10 hingga 12 tahun. Setelah itu, jangankan berkelahi, untuk saling menatap saja mereka tidak bisa. Tepat di usia kedua belas tahun, mereka menempuh jalan hidupnya masing-masing. Kendati mereka masih sempat bertukar kabar beberapa kali. Kini usia mereka sudah lima tahun lebih tua daripada saat mereka berpisah dulu. Waktu yang terlampau lama bagi sebuah kembang untuk mekar dan bersinar. Begitu juga dengan kumbang yang beranjak dewasa.


pinterest
***

         Dea kembali melihat layar ponselnya. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada notifikasi apapun. Tidak ada telepon dari siapapun. Meskipun begitu, ia masih juga tak lelah melirik ponsel itu setiap 3 menit sekali.
         “Kamu beneran mau datang ke sini?” Tanya sebuah pesan masuk di ponselnya.
         “Iya. Mumpung, lagi liburan. Punya waktu dan kesempatan rekreasi keluarga seperti ini kan jarang sekali. Sesampainya aku di sana nanti, kita ketemuan ya. Hehe.”
         “Siap, Boss. Nanti kita ketemuan di kafe favoritku, deh. Udah lama nggak ketemu, pasti kamu banyak berubah, ya.”
         Belum sempat Dea membalas, ada pesan masuk lagi.
         “Pasti makin cantik.”
         Membaca pesan itu, semakin mekarlah bunga-bunga di hati dan pelupuk mata Dea. Senyumnya tak terberai barang sedetikpun. Baginya, dunia sudah nampak indah hanya dengan menatap secara langsung wajah kawan lamanya itu.
         “Atur saja, yang penting kita bisa bertemu. Sampai ketemu nanti, Danu.”

***


pinterest

         Cuaca sore di kota C hari itu sangat mendung. Padahal baru dua jam yang lalu Dea mendarat di kota dengan adat dan budaya yang kental tersebut. Seakan itulah cara alam menyambut kedatangannya yang dulu pernah menetap di tanah mereka. Mobil dengan serbuan rintik hujan yang semakin lama semakin deras, mengantar Dea ke rumah neneknya. Padahal, jikalau boleh berkata jujur. Ada pasal lain yang mendorongnya untuk segera sampai dan menapakkan kaki di ranah bergelombang itu. Yakni rasa yang menggebu di hatinya untuk kembali dan bernostalgia dengan masa kecil. Berdamai dengan masa lalu agar hatinya tenang untuk berpisah sejauh-jauhnya. Mengingat, kepergiannya dulu yang begitu lekas. Bahkan, tanpa menyisakan jejak untuk para pengenangnya.
         “Pa, nanti aku berhenti di kafe A, ya. Pulangnya bareng teman aja. Sebentar aja, kok, ketemuannya.”
         “Kamu yakin? Nggak mau mampir dulu ke rumah? Ketemu nenek?”
         “Nggak, Pa. Sebentar aja, kok. Lagi pula, kata temanku di dekat kafe ada toko souvenir gitu. Jadi aku mau beliin nenek sesuatu.” Dalih Dea pada Papanya. Sudah hapal betul olehnya, tabiat sang Nenek yang suka dengannya sebab materi yang selalu ia suguhkan. Tanpa itu, jangankan bertemu. Menanyakan kabarnya pun neneknya tidak pernah tidak lupa.
         Dea akhirnya sampai di kafe yang telah dijanjikan Danu. Hari itu, mereka sama-sama memakai baju merah. Kata Danu, ia sedang duduk di salah satu meja yang menghadap air mancur. Maka, dengan hati yang penuh dentuman, Dea melangkah. Dari kejauhan, ia dapat melihat sosok Danu. Tubuh kurusnya dengan kulit sawo matang begitu mudah dikenali. Semakin dekat, semakin berat langkahnya untuk berjalan. Seolah batu besar tengah diikatkan pada telapak sepatunya. Separuh tubuhnya ingin duduk di hadapan Danu dan mengobrol sepanjang sore itu. Namun, sebagian yang lain ingin berhenti melangkah. Kemudian berbalik lalu kabur menuju rumah neneknya.
         Tetapi, tiba-tiba tubuhnya melayang. Kakinya tanpa sengaja menyandung sesuatu yang lantas membuatnya terhempas ke tanah.

         BRAAKK.

***

         Dea tertegun. Beberapa kali mengerjapkan matanya, kemudian memperhatikan sekitarnya.
         “Dea? Kamu dengar aku gak, sih?” suara si Penelepon masih mengambang di ujung sambungan.
         “Kenapa? Ya, aku dengar.”
         “Dari tadi aku ngomong, kamu dengerin gak?!”
         “Eh? I.iya.”
         “Dea, jangan terlalu anggap serius pesannya itu. Sebagai teman, wajar kan, kalau dia ngucapin ulang tahun ke kamu?” terdengar si Penelepon tengah menghela napas sejenak, “Aku paham. Mungkin, kamu merasa menyesal dengan apa yang dulu kamu lakukan padanya. Lebih-lebih, kamu pergi tanpa pesan begitu saja. Tapi, bukan berarti dia selalu bisa membayangimu, kan?”
         Ada hening sesaat, kemudian si Penelepon melanjutkan, “Apalagi hadapilah kenyataan. Bahwa kamu tidak akan bisa kembali ke kota itu lagi.”
         Dea benar-benar terenyak. Ia menelan ludah begitu pahit seakan ada kerikil teramat besar sedang menyangkut di kerongkongannya. Temannya itu sudah terlalu banyak bicara. Lamat-lamat ia memahami kalimat yang disampaikannya.
         Dengan suara yang ia pelan-pelankan, Dea berkata, “Hendra, sudah dulu, ya. Aku ngantuk, mau tidur.”
         “Iya, selamat tidur.” Tutup lelaki itu di ujung telepon.
         Dengan muka masam, ia melempar handphone-nya ke kasur. Begitu pula dengan tubuhnya yang ia banting perlahan seolah-olah dengan begitu ia dapat meruntuhkan penyesalan yang ada di pundaknya. Setengah dari tubuhnya telentang, sedang kakinya menggantung di pinggir kasur. Tatapannya lurus menghadap langit-langit kamar yang temaram. Beberapa saat, bayangan Danu dan siluetnya mengambang di awang-awang. Kemudian, ia menangis.

****


Banjarmasin, 23 Desember 2016


pinterest

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS