Keinginan dan "Sedikit" Kegelisahan

Jumat, 30 Juni 2017

sumber: tumblr.com

Assalamu’alaikum.

Berbeda dengan sebelum-sebelumnya, postingan ini bukan mengenai buku atau film. Bukan pula mengenai perasaan. Meskipun saya tidak berani menjamin, juga akan ada sedikit perasaan terlibat di sini. Perasaan saya lebih tepatnya.

Di awal tahun, melihat dari blog seorang idola, saya ingin mengikuti jejaknya dalam membaca. Dalam blog-nya ia berkata bahwa akan membaca minimal sebuah buku dalam satu bulan. Hingga jika dijumlahkan, paling tidak, dalam satu tahun ia akan melahap 12 buku. Minimal. Ia juga me-resume 12 buku yang sudah dibacanya tahun lalu. Merekomendasikan beberapa buku yang menurutnya sangat patut untuk dibaca.

Melihat hal itu, saya tertarik untuk melakukan hal yang sama. Karena memang beberapa tahun belakangan, saya juga mulai kurang menghabiskan waktu dengan setumpuk buku bacaan. Maka jadilah tahun ini, di mana saya berniat untuk menghabiskan sedikitnya 12 buku dalam satu tahun. Dan setelah melangkah sejauh ini, saya menyadari bahwa itu jumlah yang bisa dibilang, sedikit bagi seorang Bibliophile.

sumber: tumblr.com

Tidak, saya tidak mengklaim diri sebagai Bibliophile. Atau lebih tepatnya belum. Karena sebenarnya saya ingin. Tetapi, keadaan masih menyibukkan saya dengan buku-buku pelajaran, kegiatan sekolah, dan serangkaian ulangan. Ya, status sebagai pelajar terkadang memperluas kita pada ilmu pengetahuan namun mempersempit kita pada bidang yang kita sukai. Kecuali bidang yang tergabung dalam ekskul sekolah. Itupun, saya rasa tidak sungguh-sungguh berkembang.

Kembali pada pokok pembahasan. Di tahun ini, saya berusaha agar bisa memenuhi niat tersebut. Satu buku untuk satu bulan dan mengulasnya dalam blog ini. Akan tetapi, rencana itu saya ubah menjadi lebih cepat. Kalau bisa dua bahkan lebih banyak dalam sebulan. Karena di pertengahan, saya baru (lagi) sadar kalau setengah tahun terakhir dan setengah tahun depan, akan menjadi masa-masa berat untuk saya. Saya harus berkutat pada buku-buku ujian sekolah, ujian nasional (apapun sebutannya untuk saat ini, intinya tetap sama bagi saya), try out, hingga tes masuk perguruan tinggi. Bahkan untuk mengingatnya pun sudah membuat saya lelah.

Oleh karena itu, saya ingin menyelesaikan semuanya lebih awal. Sehingga sisanya, buku yang dibaca di luar dari 12 buku dalam setahun, bisa saya baca kapan saja tanpa bergantung pada waktu luang yang kian sempit. Terlebih lagi, kalau saya tidak sempat mengulas buku.

Jadilah sekarang. Niat itu sudah terlaksana. Keinginan saya sudah terpenuhi. Namun, itu tidak lantas membuat saya berhenti membaca. Tentu tidak! Saya justru akan terus membaca dan semakin sering membaca. Dari awal hingga pertengahan tahun ini, saya sudah menandaskan beragam jenis buku. Mulai dari kumcer, novel, hingga sastra. Buku-buku yang memperkenalkan saya pada penulis-penulis hebat seperti Etgar Keret, Eka Kurniawan, Norman Erikson Pasaribu, Bernard Batubara, dan tentunya, Haruki Murakami. Dan setelah ini, daftar buku yang ingin saya jamah semakin banyak. Sayang, waktu dan kondisi sepertinya kurang memihak kepada saya.

Maka, bagi seorang yang berikeinginan menjadi Bibliophile dan dalam tahap menulis yang masih sangat awal, seperti saya, saya harap maklum. Maklum dengan ulasan-ulasan saya yang masih serba kekurangan dan perlu banyak perbaikan dalam memahami bacaan dan menulis. Saya masih belajar. Dan akan terus belajar.

sumber: tumblr.com

Review Buku: Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu - Norman Erikson Pasaribu


Kesepian bukanlah hidup sendirian, kesepian adalah ketidakmampuanmu untuk menjaga seseorang atau sesuatu tetap di sisimu. 
-          Hal. 87

Judul buku          : Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu
Penulis                : Norman Erikson Pasaribu
Penerbit              : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Ke-       : 1
Tahun terbit       : 2014

Sebenarnya buku ini telah saya beli kira-kira setahun yang lalu. Atau kalau saya salah, mungkin dua tahun. Ketika saya masih belum cukup mengerti dengan buku-buku sastra dan cara berpikir saya yang juga belum bisa memahami hal-hal rumit. Persis seperti Kakek Nakata rekaan Haruki Murakami yang tidak terlalu pandai. Oleh karena itu, buku ini pun hanya teronggok dalam lemari kaca dan menua karena mulai berjamur. Jujur saja, salah satu hal lain yang membuat saya kembali tertarik untuk membaca buku ini adalah, selain karena judulnya yang bisa dibilang hmm, cukup panjang dan menohok hati, juga karena cover-nya yang tampak kelam. Membuat sebuah pertanyaan di kepala saya pun muncul, Benarkah menunggu bisa sesakit  dan semenyiksa itu?

Buku ini, merupakan kumpulan cerpen yang beberapa di antaranya telah dimuat di berbagai media massa. Tidak mengherankan, karena setiap kali saya berhasil menandaskan satu cerpen, saya selalu tertegun. Tentu dalam artian ‘terkesima’. Cerpen pertamanya yang berjudul Tentang Mengganti Seprai dan Sarung Bantal sukses menjadi pembuka yang menohok bagi saya. Nuansa akan kepedihan, percintaan, dan pandangan sosial terasa amat kental. Memberikan gambaran sepenuhnya kepada saya, bagaimana cerita-cerita selanjutnya akan saya nikmati.

Kadang-kadang ketika stress menulis berita, aku menekan Command+Z–undo typing–berulang-ulang, perlahan-lahan, hingga yang tersisa hanyalah layar putih, lalu aku mencuci mukaku dan menatap wajahku dan berkata kepada bayangan diriku, “Tak ada yang terjadi, semua itu tak terjadi.” Dan, kau tahu, kelak dalam kehidupanmu ada momen semacam itu, di mana semua kesedihan yang kau alami tiba-tiba berputar mundur di kepalamu. Sayangnya, yang tersisa bukanlah layar putih–mengingat tak ada perumpamaan yang sempurna.
-Hal. 45
Tentang harusnya bersabar dalam menunggu, menerima kepedihan, kepergian, dan berusaha melupakan sesuatu yang kita tahu, bahwa akan sulit melupakannya, adalah sedikit dari banyak hal yang bisa saya tangkap dari tulisan-tulisan Bang Norman. Juga menyinggung isu sosial seperti LGBT yang dipolesnya sedemikian menarik, sehingga mampu membuka pandangan saya mengenai hal tabu tersebut.

Akan datang harinya di mana Hawamu itu tahu dan akhirnya diam-diam meminta kalian untuk pergi, memisahkan diri dariku. Mungkin saat itu kau akan bilang dengan yakinnya: Kami akan datang setiap minggu. Tapi aku tahu setelah itu kalian tidak akan kembali. Dan garpu imajinatif itu bakal laksana permata yang patah. Dan hanya aku yang tersisa. Sendiri bertahan. Persis tusuk sate.
- Hal. 47 



Selain cerita-ceritanya yang begitu berbeda, hal lain yang memesona saya ialah bagaimana Bang Norman menuturkan setiap ceritanya. Ya, sudut pandang orang pertama pelaku sampingan yang terkadang membuat saya agak kebingungan, tapi tidak pernah gagal menggoyahkan emosi. Ia punya bahasa yang seolah sanggup mengetuk hati.

“Apakah Anda pergi sendirian saja?” Pertanyaannya entah mengapa menyesakkan. Aku merasa dia menuduhku sebagai orang yang sebatang kara. Aku pernah tahu orang seperti itu, kenal dekat malah. Orang itu sudah lama pergi dan tak perlu kembali. Bara yang mengusirnya. Kalau aku tak keliru, namanya Kesepian.
-Hal. 161

Kumcer ini bisa menjadi teman hangat, selagi kalian menanti sosok yang entah kapan akan tiba. Dan untuk orang yang sedang menunggu, penantian yang belum berujung, buku ini seperti teh hangat di pagi hari yang akan membuka mata kalian. Menyadarkan kalian. Bahwa dalam perihal menunggu, segala sesuatunya tidak akan pernah mudah.

Dunia ini kadang terasa seperti penantian yang tak usai-usai. Perjalanan yang sunyi. Kadang menyenangkan, lebih sering menyakitkan. Ditinggalkan. Terpaksa meninggalkan. Patah hati. Dilupakan. Terpaksa melupakan. Kalah. Terpaksa menyerah…
-Hal. 83

Review Buku: Elegi - Dewi Kharisma Michellia

Selasa, 20 Juni 2017



Judul Buku                    : Elegi
Penulis                           : Dewi Kharisma Michellia
Penerbit                         : Grasindo
Tahun Terbit                  : 2017
Jumlah Halaman           : 162

Sesuai dengan judulnya, Elegi karya Mba Dewi Kharisma Michellia ini akan selalu membawa kita untuk bergumul pada kepedihan, kepergian, dan kematian. Diramu dengan apik dan segar, membuat kita terkadang harus membaca atau berpikir dua kali untuk mengerti apa arti yang ingin disampaikan Mba Dewi sebenarnya. Sebagian ada yang terasa sedikit ganjil, beberapa ada yang sulit saya pahami, namun ada pula yang teramat menyentuh hati.

Buku kumpulan cerpen ini terbagi ke dalam 13 cerita pendek dan 6 fragmen yang beberapa di antaranya telah dimuat di media massa. Kita akan masuk dalam kesedihan yang disebabkan oleh patah hati, kematian orang terkasih, kehilangan sosok keluarga, hingga kerinduan yang mendalam. Elegi mengajak kita untuk mencicipi sembilu dari sisi dan sudut pandang yang beragam. Lebih tepatnya, menunjukkan kepada saya bahwa di dunia ini, banyak hal dapat mengundang luka, termasuk seorang penulis yang sedang mandek sekalipun. Tidak lupa juga dengan potongan-potongan yang singkat, namun membekas.

Di sini saya hanya akan menuliskan sinopsis 3 cerpen favorite saya dari buku ini, ditambah dengan beberapa fragmen yang hmm.. menyentil perasaan saya.
  • Penulis Fiksi              
Penulis Fiksi berkisah tentang tokoh Aku yang sering sekali memperhatikan tetangga barunya. Sampai suatu ketika, Ibunya tokoh Aku memberitahu kalau tetangga baru mereka itu masuk rumah sakit karena percobaan bunuh diri yang ia lakukan. Tetangga barunya itu dilarikan ke rumah sakit setelah ia menenggak racun, memutus urat nadinya, lantas loncat dari lantai dua rumahnya. Dan beruntungnya, sungguh beruntung, pria itu tidak mati.

Orang tuanya menyuruh tokoh Aku untuk menjenguk pria itu ke rumah sakit. Di sana, tokoh Aku mengobrol dengan pria itu. Tegur sapa yang pertama kali mereka lakukan, semenjak pria itu menjadi tetangganya. Pria itu memberikan sesuatu kepada Aku dan setelahnya, sesuatu berjalan begitu saja.
Ia menunjuk pada parsel-parsel yang menghiasi kamarnya. “Kau tahu dari mana datangnya bingkisan-bingkisan ini?" Aku menggeleng. Aku tak suka orang-orang melankolis. Ia tersenyum. “Aku meminta para perawat membelikannya untukku.” 
-          Hal. 19

  • Tanda
Bagaimana rasanya jika kau bertemu lagi dengan orang yang kau cintai dulu, dalam wujud yang sering kali mengawang lalu hilang berhambur dengan debu? Di saat kau menyadari bahwa kau dan kekasihmu sudah tidak berada dalam dunia yang sama? Kira-kira seperti itulah pembuka yang disajikan dalam cerita Tanda.

Seorang pria berjumpa dengan kekasih lamanya yang berkata bahwa saat ia dapat mengunjungi dan tinggal di dunia dalam waktu yang lama, itu pertanda saatnya ia tak akan boleh pergi ke sana nantinya. Oleh karena itu, sang kekasih memberikan seekor kucing kepada pria itu. Seperti yang kita tahu, setiap arwah yang berada di alam yang bukan semestinya, itu berarti bahwa ada ‘sesuatu yang belum selesai’. Dan benar saja. Ketika si pria bermimpi tentang kekasihnya itu, di sanalah (mungkin) semua masalah akan selesai. Dan si kucing yang ia beri nama Tanda, menjadi ‘pertanda’ bagi suatu awal yang baru. Mungkin.

Sebenarnya si pria enggan. Namun, ia pun tidak tahu cara menolak. Maka, ia mengunci pintu kamar flat, mengikuti si perempuan yang menggendong Tanda dengan sayang di pelukannya. Sepanjang lorong menuju kamar si perempuan, mereka mulai berkenalan. 
-          Hal. 45

  • Keberangkatan
Dibuka oleh perpisahan seorang anak gadis bernama Diandra dengan Papanya, Keberangkatan menghidangkan kisah sebuah keluarga Broken Home yang berbeda. Kemelut yang tidak kunjung reda, dituturkan dari sudut pandang sang Papa, menunjukkan kepada kita betapa rumitnya keluarga mereka. Papa yang merasa bosan dengan pekerjaan di kantor, berpikir bahwa uang tabungannya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, lalu memutuskan resign. Keadaan memburuk ketika Papa terjebak dalam perjudian dan klub-klub malam. Tanpa memberikan pilihan apapun kepada Mama yang dengan terpaksa harus mencari pundi-pundi rupiah. Mengalihkannya menjadi tulang punggung keluarga.

Diandra adalah anak perempuan yang diidam-idamkan oleh Mama. Sayangnya ia muncul bukan dari rahim Mama melainkan ditemukan di tempat sampah di panti asuhan. Masih sangat mungil dan merah. Mungkin itulah sebabnya ketika bercerai, Mama lebih memilih Andreas, anak laki-laki pertama mereka atas hak asuhnya. Sedangkan Papa dengan senang hati menerima Diandra. Papa sangat menyayangi kedua anaknya. Karena Andreas dan Diandra-lah, Papa akhirnya bertekad untuk berubah. Berhenti menegak alkohol, berjudi, dan mulai mencari pekerjaan lagi.

Akan tetapi, seakan kebagiaan tidak pernah berpihak pada keluarga mereka, suatu rahasia besar terbongkar. Rahasia tentang masa lalu yang bisa saja mengubah kehidupan mereka saat ini. Rahasia yang juga menentukan hidup Diandra. Hidup keluarga mereka.

Mungkin di rumah sakit, Andreas akan menyadari bahwa Ibunya bergolongan darah O, Ayahnya bergolongan darah B, dia bergolongan darah A, dan adiknya bergolongan darah AB. Sesuatu yang tak sempat aku dan istriku sampaikan secara langsung kepada mereka. 
-          Hal. 82
Fragmen-fragmennya seperti Rekan Bicara, Hidup Kita Selepas Elegi, dan Semiliar Perbedaan juga mengantarkan kita pada akhir yang sendu. Bagaimana kita bisa bertemu dengan rekan bicara yang bisa bicara dari hati ke hati. Yang mampu bicara hanya dengan genggaman tangan, atau kepala yang merebah di pundak satu sama lain. Adanya harapan baru akan hidup yang lebih baik setelah berbagai kesusahan yang kita alami. Tentang orang tua yang bercerai, Ayah pemabuk dan Ibu yang kerap gonta-ganti pacar, hingga anak yang menderita karena pilihan-pilihan salah yang orang tua ambil dalam hidupnya. Namun, akan selalu ada kertas putih untuk ditulis kembali, bukan? Tidak peduli seberapa banyak tinta yang mengotori halaman sebelumnya. Begitu pula dengan banyaknya perbedaan yang membatasi setiap orang. Sama seperti puzzle, saat kita mendapati potongan-potongannya, kita bukan berusaha mencari kesamaannya untuk dapat menyatukannya. Tapi, kita mencari kecocokannya.

Cerpen-cerpen Mba Dewi, mengalir dengan santai namun menghujam tepat di dada. Membuat saya berkali-kali menghela napas dan tersenyum miris. Penceritaan maupun alurnya menawarkan suasana yang berbeda untuk saya. Saya bisa semakin kagum dan menyukai kepenulisan Mba Dewi, atau justru kebingungan dengan plotnya yang terkadang tidak masuk akal dan berbelit. Terlepas dari kekurangan itu, Elegi tetap menjadi buku yang indah untuk menemani kita saat duka dan berbagi kehilangan.

Review Buku: Dunia Kafka (Kafka On The Shore) Karya Haruki Murakami

Minggu, 04 Juni 2017



Haruki Murakami bukanlah penulis yang asing bagi saya. Penulis favorite saya, Bernard Batubara-lah yang memperkenalkan saya dengan Haruki Murakami. Ia pernah membahas Murakami dalam blognya. Salah satu alasan yang mendorong saya untuk ikut membaca karya Murakami. Sesuai dengan sarannya, buku Murakami yang saya lahap pertama kali adalah Norwegian Wood. Cerita yang realis sebagai langkah pengenalan saya dengan dunia penceritaan Murakami yang serba surealis. Lantas setelah khatam dengan Norwegian Wood, saya mulai merasa perlu untuk menikmati karya Murakami lainnya. Buku yang terasa lebih surealis, yang menjadi keunikan dan kehebatan dari Haruki Murakami sendiri. Dan saya memutuskan untuk membaca Dunia Kafka.

Judul Buku    : Dunia Kafka (Kafka On The Shore)
Penulis           : Haruki Murakami
Penerbit         : Alvabet
ISBN             : 978-602-9193-03-1
Tebal Buku    : 599 Halaman
Cetakan         : Ke- 3
Tahun Terbit  : 2016

Dunia Kafka atau yang berjudul asli, Kafka On The Shore berjalan dengan dua plot yang berbeda. Secara bergantian, kita akan diperkenalkan pada Kafka Tamura, remaja berusia 15 tahun yang memutuskan untuk pergi dari rumahnya karena ia merasa jika ia tetap berada di sana, ia akan hancur. Tanpa memiliki alasan yang jelas, ia memilih Shikoku sebagai daerah tujuannya. Sambil mengambil beberapa barang milik Ayahnya di ruang kerja, ia berbicara dengan seorang bocah laki-laki bernama Gagak, yang saya anggap adalah bayangan dari dirinya sendiri (kalau tidak bisa dibilang bayangan, mungkin temannya dari dunia lain, atau semacam itu.). Dalam perjalanan, ia berkenalan dengan seorang gadis yang bernama Sakura. Gadis itu lebih tua darinya, sosok yang mengingatkannya pada kakak angkat dan ibu yang telah meninggalkannya waktu ia masih kecil. Sesampainya di sana, ia datang ke Perpustakaan Komura yang kelak menjadi tempat tinggalnya.

Kau takut berimajinasi. Dan lebih lagi, takut bermimpi. Takut akan tanggung jawab yang dimulai dalam mimpimu. Tapi kau harus tidur, dan mimpi adalah bagian dari tidur. Ketika kau terjaga, kau dapat menekan imajinasi. Tapi kau tidak dapat menekan mimpi. 

- Hal. 175

Sementara itu, plot kedua bercerita tentang seorang kakek bernama Satoru Nakata yang keterbelakangan mental. Sebenarnya Kakek Nakata tidak bisa dikatakan keterbelakangan mental, menurut saya. Dia hanya memiliki sesuatu di dalam dirinya dan itu tidak bisa dimengerti oleh orang lain. Ditambah dengan cara bicaranya yang dianggap aneh. Ia memiliki kemampuan berbicara dengan kucing. Masalah kejiwaannya itu membuat Kakek Nakata selalu memperoleh subsidi dari Gubernur, dan sedikit tambahan uang dari jasanya membantu para tetangga menemukan kucing mereka yang hilang. Kakek Nakata adalah lelaki tua yang sangat ramah dan apa adanya. Ia selalu berkata jujur dan yang paling saya suka, ia sering kali berkata, "Maaf, saya tidak mengerti apa yang Anda ucapkan. Maafkan, saya tidak terlalu pandai." Ketika Kakek Nakata berucap demikian, selalu terbayang di benak saya seorang lelaki tua yang lemah dan begitu sederhana. Meskipun demikian, Kakek Nakata memang tidak pandai. Ia tidak bisa membaca apalagi menulis. Pencariannya terhadap kucing bernama Goma yang kelak mengantarnya pada pertemuan tidak terduga dengan Johnie Walker. Orang yang memakai sepatu bot dan menangkapi kucing-kucing untuk dibelah dadanya, dimakan jantungnya hidup-hidup, lantas memenggal kepalanya. Bentuk kriminalitas yang cukup membuat saya meneguk liur dan mendelik. Yah, siapa sangka Kakek Nakata yang polos dan ramah itu telah membunuh Johnie Walker.

Meskipun bercerita dengan dua plot yang berbeda, pada akhirnya semua berujung di satu titik dan saling berkaitan. Semakin kita membalik lembar demi lembar bagiannya, hubungan antara Kakek Nakata dan Kafka Tamura kian terbuka. Walaupun capek sebenarnya, mengingat plot yang disajikan bergantian sehingga saya harus mengingat jalan cerita sebelumnya agar bisa kembali masuk dalam bab selanjutnya.

Dunia Kafka mengandung konflik yang kompleks. Jujur saja, saya harus menahan kesabaran di tengah-tengah cerita karena alurnya yang saya kira, cukup lambat. Bagian yang betul-betul saya nikmati adalah di awal dan akhir cerita. Sedangkan pada pertengahan, saya kehilangan konsentrasi dan kesungguhan dalam membaca. Belum lagi dengan beberapa dialog yang agak membingungkan bagi saya (Ini karena pemikiran saya yang masih belum sampai-_-). Dalam belitan ceritanya, Murakami menyisipkan berbagai unsur yang secara sadar maupun tidak, turut menjadi dasar dari pengembangan alurnya. Mitologi, filsafat, musik, dan beberapa ungkapan menurut tokoh-tokoh dunia yang cukup membuat saya semakin mengerti atau justru kebingungan sendiri.

"Dari bangsa Mesopotamia kuno. Mereka mengeluarkan usus binatang-aku rasa kadang-kadang juga usus manusia-kemudian menggunakan bentuknya untuk meramal masa depan. Mereka mengagumi kerumitan bentuk usus. Jadi bentuk dasar dari labirin adalah, dengan kata lain, keberanian. Yang berarti bahwa prinsip dari labirin ada di dalam dirimu. Dan itu berhubungan dengan labirin yang di luar." 

- Hal. 447

Sama seperti yang dikatakan Bang Bernard dalam blognya, bahwa untuk menikmati karya Murakami, kita harus terbuka pada ketidakjelasan. Jangan memusingkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan yang sarat akan logika. Karena Murakami memang hanya akan berkutat pada absurditas, imajinasi, dan abstrak. Mungkin bisa dibilang, Norwegian Wood tidak termasuk dalam hal ini. Dibandingkan dengan Dunia Kafka, saya rasa Norwegian Wood merupakan karya yang dibuat Murakami dengan mencoba keluar dari zona nyamannya.

Begitulah, Dunia Kafka berjalan dengan lambat, penuh imajinatif, dan absurditas yang tidak bisa kita coba untuk mencari arti atau maknanya. Biarkan saja hal-hal di luar nalar itu tetap berada di luar kepala. Sebab hanya dengan cara seperti itulah kita dapat menerima keseluruhan cerita dan menikmatinya. Dunia Kafka adalah bacaan yang berat. Perlu kesabaran ekstra agar kita bisa bertahan untuk tidak menutup buku itu di tengah jalan. Namun, ketika kita sudah benar-benar menyelesaikannya, akan ada magnet yang selalu menarik kita untuk kembali membaca karya Murakami lainnya. Dan saya rasa, di situlah letak keistimewaan seorang Haruki Murakami.

"Jika kau mengingatku, aku tidak peduli apabila orang lain melupakan aku."
- Hal. 596

Review Buku: Genduk Oleh Sundari Mardjuki

Jumat, 26 Mei 2017




Jujur saja, sebelumnya saya salah sangka dengan buku ini. Semula, saya mengira bahwa Genduk merupakan kisah seorang anak desa yang seluruh kehidupannya begitu erat dengan tembakau, bahan utama pembuatan rokok. Cerita yang memusatkan konfliknya hanya pada tembakau dan mengungkap kehidupan lokal seorang petani tembakau. Namun, ternyata Genduk menawarkan harga yang lebih dari itu.

Genduk merupakan nama seorang bocah perempuan yang tinggal di puncak Gunung Sindoro, Temanggung. Berlatar waktu tahun 1970-an, Genduk membawa kita pada masa di mana tembakau menjadi ladang emas bagi kehidupan petani di sana. Sedikit saja dedaunan itu layu atau terserang hama, maka keresahan segera menyelimuti para petani. Tidak terkecuali dengan Ibu Genduk. Yung, begitu panggilan Genduk kepada Ibunya. Di Desa Ringinsari, ia hanya tinggal bersama Yung. Sejak kecil ia tidak pernah bertemu Pak’e-nya. Jangankan bertemu, tahu wajahnyapun tidak. Meskipun begitu, ia tetap sabar membendung kerinduan di lubuk hatinya. Perjuangan Yung yang begitu keras untuk menghidupi mereka berdua, membuat Genduk selalu bertahan untuk tidak menanyakan keberadaan Pak’e. Genduk tahu, itu hanya akan membuat Yung terluka. Segala hal tentang Pak’e dan sejarah Yung-nya hanya ia ketahui dari Kaji Bawon.

Cerita berlanjut ketika Genduk sudah tidak mampu lagi menyimpan kerinduan yang bergejolak. Rasa keingintahuan yang amat besar terhadap kepergian Pak’e membuatnya memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Di samping itu, kesusahan-kesusahan yang ia dan Yung-nya alami semakin menjerat leher mereka. Harga tembakau yang anjlok, kegagalan panen, ditipu para Gaok, hingga terhutang pada rentenir.

“Manusia bisa mati dengan berbagai cara. Bisa dimakan babi hutan. Bisa dimakan rentenir."
-          Hal. 88

Genduk menunjukkan kita sebuah usaha dalam mencari kebenaran. Meniti kerinduan dengan berderai-derai air mata, meski berujung pada akhir yang begitu menusuk hati. Keluguan yang diperdaya demi mendapatkan secuil harapan. Serta kepercayaan yang tiada henti menempa diri, hingga membuahkan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan.

Sebelumnya, di kepala saya, buku-buku motivasi semacam ini merupakan jenis buku yang sangat membosankan. Kaku, datar, dan mudah ditebak. Beruntung hal-hal seperti itu tidak saya temukan pada Genduk. Alurnya yang sudah menarik sejak awal, ditambah dengan penuturan yang apik dan manis membuat saya sangat menikmati dan melahap lembar demi lembar halamannya. Termasuk pula dengan puisi-puisi yang kian menambah keindahan dari sastra ini.



Aku Kembang Lonte Sore
Aku kembang lonte sore
Aku bukanlah seroja yang acap dipuja
Pun bukan mawar yang mekar di bawah denyar 
Aku hanyalah kembang lonte sore 
Yang terserak di bawah pohon pare 
Aku berkarib dengan rumput teki 
Dialah tempat curahan gulana hati 
Bersamanya kami melewati hari 
Tetap tersenyum meski hidup tak seindah mimpi

Aku mekar di antara belukar 
Menawarkan harum yang samar 
Sudikah engkau datang 
Sekadar menyapa tentu bukan pantang 
-          Hal. 85

Hal lain yang membuat saya semakin kagum terhadap buku ini adalah, ternyata Genduk ditulis selama kurang lebih empat tahun. Bayangkan! Empat tahun. Setelah melalui riset yang panjang dan tentunya, inspirasi dari beberapa orang di sekitar penulis. Genduk juga memberikan kepada kita, gambaran yang amat jelas mengenai kehidupan seorang petani tembakau. Apa yang mereka lakukan, kendala yang mereka hadapi, kesederhanaan, dan kegundahan yang merayap di hati mereka. Contoh nyata dari ketergantungan petani terhadap apa yang mereka tanam. Dan bagaimana benih-benih muda yang tumbuh turut menumbuhkan harapan hidup mereka.

Sekali lagi, Genduk adalah sastra yang sederhana namun sarat makna. Kita akan dibuat sendu dengan Genduk yang begitu menyedihkan. Sekaligus pula, larut dalam pengutaraan bahasa yang mengagumkan.

Genduk, adalah seorang anak perempuan yang tinggal di Desa Ringinsari, lereng Gunung Sindoro. Bocah perempuan sederhana namun penuh kekayaan hati.

“Sungguh manusia itu seperti debu tegalan, yang mudah diterbangkan oleh tiupan angin musim kemarau. Mudah diombang-ambingkan oleh lembaran duit, kilaunya emas perhiasan, juga hektaran tanah. Begitu semua hilang dari genggaman, hidup seperti tidak ada gunanya. Susahnya hidup di dunia ini cuma sementara, jangan sampai membuat putus asa. 
Kalau tidak ingat dan pegangan kuat sama tali Gusti Allah, manusia benar-benar seperti debu.” 
-          Hal. 160

Review Buku: Le Petit Prince (The Little Prince) - Antoine De Saint-Exupery

Minggu, 21 Mei 2017



The Little Prince bercerita tentang tokoh "Aku" yang bertemu dengan Si Pangeran Cilik di tengah Gurun Sahara. Ketika itu, tokoh "Aku" terhenti perjalanannya dikarenakan pesawatnya mengalami kemogokkan. Kemudian, secara tiba-tiba, entah datang dari mana, Pangeran Cilik datang dan memintanya untuk menggambarkan seekor domba. Dari kalimat yang diucapkan Pangeran Cilik sedikit demi sedikit, tokoh "Aku" akhirnya dapat menguak rahasia dari mana anak itu berasal.

Pangeran Cilik tinggal di planet nun jauh. Tempatnya begitu kecil dengan sebuah bunga mawar berpenungkup, benih-benih pohon baobab, dua gunung aktif, dan satu gunung mati yang semua itupun hanya setinggi lututnya.

Selama memperbaiki bagian pesawatnya yang rusak, tokoh "Aku" terus mendengarkan cerita perjalanan Pangeran Cilik hingga sampai ke bumi. Ia berkunjung ke sebuah asteroid yang didiami oleh seorang raja. Ya, hanya seorang raja. Tanpa ratu, menteri, maupun rakyat. Planet kedua yang didatanginya didiami oleh seorang sombong. Ia amat tinggi hati sampai-sampai ia berpikir bahwa semua orang mengagumi dirinya. Planet berikutnya dihuni oleh seorang pemabuk. Pemabuk itu beralasan bahwa ia minum supaya lupa rasa malu karena ia telah minum. Planet keempat ditinggali oleh seorang pengusaha. Pengusaha itu sangat sibuk. Saking sibuknya ia tidak mampu menolehkan kepalanya ketika berbicara dengan Pangeran Cilik. Ia suka menghitung bintang-bintang, yang ia anggap sebagai miliknya. Planet kelima didiami oleh seorang penyulut lentera. Planetnya berputar sekali dalam satu menit, maka si penyulut lentera pun tidak dapat beristirahat. Ia harus menyalakan dan mematikan lentera sekali setiap menit. Planet selanjutnya dihuni oleh seorang ahli bumi. Ia adalah seorang lelaki tua yang duduk sambil membaca buku maha tebal. Ahli bumi itu sangat senang karena didatangi oleh seorang penjelajah, seperti Pangeran Cilik. Ia juga menyarankan agar Pangeran Cilik pergi ke bumi. Hingga akhirnya sampailah ia di gurun itu sekarang.

Sering berjalannya waktu, tokoh "Aku" dan Pangeran Cilik menjadi teman. Mereka menyusuri dan mencari sumur di Padang Sahara. Banyak hal yang dipelajari "Aku" dari Pangeran Cilik. Tentang kesombongan, bersyukur, dan persahabatan.

Sampai suatu ketika, saat tokoh "Aku" terbangun dari tidurnya. Pesawatnya sudah selesai ia perbaiki dan ia berencana untuk pulang bersama Pangeran Cilik. Ia tidak mendapati keberadaan Pangeran Cilik lagi. Pangeran Cilik telah pulang ke planetnya, satu di antara berjuta bintang-bintang.

"Inilah rasasiaku. Sangat sederhana: hanya lewat hati kita melihat dengan baik. Yang terpenting tidak tampak di mata."
- Hal. 88 

Review Buku: The Girl On Paper oleh Guillaume Musso

Selasa, 28 Maret 2017



Saya mencintai buku ini. Sangat mencintainya.

The girl on paper bercerita mengenai seorang penulis buku Trilogie Des Anges yang sangat terkenal bernama Tom Boyd. Ia menjalin hubungan asmara dengan pianis muda nan cantik, Aurore, sebelum akhirnya lamarannya ditolak dan ia terjebak dalam obat-obatan, alkohol, hingga mengalami writer’s block. Keadaannya semakin terpuruk ketika Milo, sahabatnya, memberitahu kalau mereka telah ditipu dan kehilangan hampir dari seluruh tabungan dan kepemilikan atas rumahnya.

Suatu malam, tiba-tiba seorang gadis tanpa busana memasuki rumahnya. Ia mengaku sebagai Billie, gadis yang menjadi salah satu tokoh dalam novelnya. Sebelumnya, Milo telah memberitahu Tom bahwa buku Trilogie Des Anges Vol. 2-nya mengalami kesalahan cetak tepat di halaman 266. Ada kalimat yang terputus dan sisanya hanya berupa halaman kosong.
 
Billie menyeka matanya yang menghitam oleh lelehan maskara.“Kumohon, Jack, jangan pergi seperti ini.”Namun, pemuda itu sudah mengenakan mantelnya. Dia membuka pintu, tanpa sekali pun menatap kekasihnya.“Kumohon!” seru gadis itu, jatuh

Tentu, Tom tidak memercayai hal itu. Namun beberapa pertanyaan yang dijawab dengan sangat tepat oleh Billie, membuat sedikit keraguannya memudar. Terlebih lagi, setelah mereka melakukan kesepakatan: Billie akan membantu Tom untuk kembali bersama Aurore, dan sebagai imbalannya, Tom harus menyelesaikan buku ketiganya agar bisa memulangkan Billie ke dalam dunia fiksinya.

Mereka menempuh perjalanan yang panjang dan penuh petualangan menuju Meksiko agar Tom dapat bertemu dengan Aurore. Perjalanan yang mengantarkan mereka justru kepada pengembaraan yang lebih jauh lagi. Buku terakhir yang mengalami kesalahan cetak pun turut menjadi bagian dari masa lalu orang-orang yang sempat membacanya. Kelak, kita akan berhenti pada awal di mana cerita itu bermula. Seorang gadis kertas yang penuh dengan teka-teki dan penulis yang akhirnya menemukan cintanya kembali.

***



Buku ini memiliki ide cerita yang sangat menarik, menurut saya. Seorang gadis yang keluar dari buku. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya saya menikmati cerita dengan ide pokok semacam ini. Ruby Sparks dan Goosebumps adalah beberapa film yang juga mengangkat ide cerita yang sama. Meskipun terbilang sudah pasaran, saya rasa konsep cerita ini tetap menarik untuk dinikmati maupun dikembangkan. Saya semakin meyakini hal itu ketika menemukan buku ini.

The girl on paper ditulis dengan gaya yang modern dan bebas tanpa kehilangan sisi romantismenya. Pembaca tidak akan dibuat bosan dengan setiap rangkaian kata yang disajikannya dengan penuh keserasian dan menggelegak emosi. Persis seperti apa yang penulis katakan di halaman 290:

Sebuah buku hanya akan hidup kalau dibaca. Para pembacalah yang menyusun potongan-potongan gambar dan menciptakan dunia imajiner tempat para tokohnya hidup.- Hal. 290

Banyak hal yang saya peroleh dari novel karya Guillaume Musso ini. Meski sejujurnya, ini adalah karya pertamanya yang saya baca. Penulisannya yang ringan sangat cocok dengan genre cerita yang memang ditujukan untuk kaum muda. Saya mampu merasakan gejolak dari majas-majas yang digunakan penulis, sekaligus meresapi makna yang ingin disampaikannya. Ya, semudah itu. Penyajiannya yang menambahkan kalimat-kalimat bijak dari banyak ahli dan penulis lain juga menjadi pemanis buku ini. Tidak heran kalau saya menempelkan banyak sticky notes dalam lembaran-lembarannya.

Aku ingin kau tahu apa keberanian sejati itu,bukan dengan membayangkan seorang laki-laki dengan senjata di tangan.Keberanian sejati adalah ketika kau tahu bahwa kau kalah sebelum kau memulainya,tapi kau tetap memulainya dan tetap bertindak,apapun yang terjadi.-Harper Lee

Hal yang disayangkan dari novel ini hanya sedikit kesalahan pengetikan yang saya temui di beberapa bab-nya. Namun seperti yang saya katakan tadi, sedikit. Sehingga hal itu termaafkan dengan banyaknya kelebihan yang saya temui dari buku ini. (Seperti yang kita tahu, kita tidak boleh terfokus hanya pada satu kesalahan. Sementara di sisi lain kita bisa menemukan banyak kebaikan #curcol). Selain itu, sudut pandangnya yang berubah-ubah sedikit membuat saya bingung. Tetapi setelah menelan beberapa bab berikutnya, saya mulai bisa menyesuaikan diri dengan plot ceritanya. Selanjutnya, mudah saja bagi saya untuk masuk dan tenggelam bersama imajinasi yang saya bangun sendiri.

Terlepas dari kelemahan yang termaafkan itu, saya puas dengan novel ini. Tidak sia-sia, saya berjuang mencarinya seorang diri #curcollagi. Sama seperti sebelumnya, saya mencintai buku ini. The girl on paper tidak sekadar menunjukkan keputusasaan seorang lelaki yang patah hati pada cinta yang ia idam-idamkan. Novel ini juga melahirkan  sisi lain dari kehidupan seorang penulis dan dunia yang ia tinggali beserta orang-orang yang ada di sekitarnya. Hal penting yang saya serap dari buku ini adalah:

Membaca bukan hanya perihal tentang mengeja kata demi kata di dalam hati lalu menghubungkannya menjadi untaian kalimat. Lebih dari itu, membaca adalah tentang membangun karakter. Tenggelam di dalam imajinasi yang tidak ada batasnya. Membaca ialah segala hal tentang menghidupkan cerita dan bagaimana cara kita untuk hanyut dalam fantasi yang kita ciptakan sendiri.
-          Atika

Review Film: One Day (Thailand Movie) (2016)

Selasa, 21 Maret 2017

Assalamualaikum.

Kemarin, saya menonton film thailand yang berjudul One Day. Sebenarnya film ini sudah cukup lama tayang. Namun, karena saya baru sempat mendownloadnya kemarin, dan berbagai kesibukan lainnya. Akhirnya saya baru bisa menontonnya kemarin. Hmm, mungkin supaya bisa mendapatkan sedikit gambaran dari film ini, lebih baik kita melihat trailernya dulu. Cekidot:




Nah, sudah punya sedikit bayangan, kan, mengenai film ini?

One Day bercerita tentang seorang lelaki bernama Denchai yang menyukai teman sekantornya, Nui. Tetapi, Den hanya bisa menyembunyikan perasaannya itu sebab, penampilan dan sifatnya yang sangat tertutup. Ia berambut keriting, berkacamata, dan cukup sulit untuk bergaul. Ia seorang pegawai di bidang IT, semua orang membutuhkan dirinya. Namun tidak satupun yang bisa mengingat namanya. Hanya Nui yang bisa mengingat namanya, itulah yang akhirnya membuat Den jatuh hati pada Nui. Karakter Nui berbanding terbalik dengan Denchai. Ia seorang gadis yang ceria, murah senyum, dan selalu terbuka. Tak heran, jika ia bisa dengan mudahnya menjalin hubungan dengan Top, atasannya di kantor.

Suatu ketika, Top mengadakan liburan pergi ke Jepang untuk semua karyawannya. Sebenarnya itu bukan liburan kantor, melainkan cara Top agar bisa membawa Nui untuk mengunjungi Festival Salju di sana. Tetapi di luar dugaan, istri Top beserta anaknya juga datang menyusul. Lebih lagi setelah terdengar kabar kalau ternyata istri Top hamil lagi. Ya, Top sudah menikah. Ia berjanji pada Nui akan menceraikan istrinya dan menikahi Nui. Namun, dengan keadaan istrinya yang tengah hamil, bagaimana bisa Top menceraikannya? Saat itu, Nui benar-benar patah hati. Ia sangat bersedih. Ketika liburan kantor sudah berakhir. Ia mengambil beberapa hari lagi untuk tetap tinggal di Jepang. Denchai yang selalu memperhatikan dan mengikuti Nui pun juga tak tega meninggalkan ia seorang diri. Sehingga akhirnya Denchai juga tidak pulang ke Thailand.

Kepatahatian Nui berujung pada jatuhnya ia saat bermain ski. Sebenarnya tidak sungguh-sungguh bermain ski. Ia mengalami yang namanya TGA, Transient Global Amnesia. Lupa ingatan sementara yang menghilangkan memori jangka pendeknya. Amnesia itu hanya terjadi satu hari saja. Keesokkan harinya, Nui akan lupa dengan apa yang terjadi hari ini. Ia akan mendapatkan kembali memori jangka pendeknya. Hal itulah yang membuat Den mulai memanfaatkan situasi. Ia mengaku pada Nui kalau mereka adalah sepasang kekasih.

***

Dari film ini saya belajar untuk mencintai seseorang tak hanya sekadar memandang kepada fisiknya. Apa yang dilakukan Denchai adalah hal manusiawi yang sering kali juga dilakukan oleh orang yang sedang jatuh hati. Kita akan melakukan hal-hal yang bodoh karena cinta. Selain itu, saya juga menemukan cara pandang yang berbeda dalam melihat suatu tindakan. Misalnya seperti di saat Denchai melakukan hal-hal manis kepada Nui secara diam-diam. Di satu sisi, perbuatan itu bisa terlihat menakutkan, ia bisa saja disangka psikopat atau pengintai. Tetapi di sisi lain, bisa menjadi perbuatan yang sangat romantis. Ya, tergantung dari sisi mana kita lebih berpijak.

Apa kau pernah mendengar orang mendaki gunung Everest? Saat pendakian pria itu jatuh, dan semua orang akhirnya mati. Dan seorang pria yang berjalan di atas tali di antara menara di World Trade Center. Sebelumnya aku tak pernah bisa memahami kenapa mereka melakukan hal-hal semacam itu. Sampai ketika aku bertemu denganmu. Saat kau memintaku sebelumnya, kenapa aku menjadi berani untuk merayumu. Saat ini aku tahu jawabannya. Ketika kita mencintai sesuatu dengan sungguh-sungguh, kita tidak butuh sebuah alasan.

Cinta yang membuat kita berani untuk melakukan semua hal-hal bodoh itu.

Film ini lebih menonjolkan sisi romantisnya, berbeda dengan film thailand biasanya yang dibumbui oleh komedi. Sehingga saya dapat merasakan konfliknya lebih mendalam. One Day mengajarkan kepada saya, untuk mecintai dengan setulus hati tanpa berharap apapun. Mengerti, bahwa sering kali cinta membuat kita terluka. Tetapi, kita tidak akan pernah berhenti untuk mencintai. Jujur saja, ketika melihat trailernya, saya pun berpikir kalau Denchai bersikap tidak baik dengan berbohong dan seolah memanfaatkan keadaan Nui. Dan setelah menonton filmnya, ternyata pemikiran saya itu salah. Keduanya sama-sama bodoh dan saya pun tidak jadi berpihak kepada salah satu di antara mereka.

Kau bisa menyebut dirimu bodoh jika kau mau. Tapi apa yang aku lakukan hari ini tidak jauh berbeda. Ini seperti kita mendaki gunung Everest bersama-sama.

Review Buku: Pacar Seorang Seniman oleh W. S. Rendra

Sabtu, 11 Maret 2017



Berbeda dengan buku-buku kumpulan cerpen lain yang pernah saya baca, Pacar Seorang Seniman merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh sastrawan sekaligus penyair besar, W. S. Rendra. Kumpulan cerpen ini ditulis W. S. Rendra pada era 1950-1960-an. Sehingga latar sosial, budaya, dan bahasanya disesuaikan dengan masa itu. Namun saya rasa, itu justru menjadi nilai lebih dari buku ini.

Pacar Seorang Seniman berisi 13 cerita pendek, dilengkapi juga dengan biografi singkat Sang Penulis di bagian akhirnya. Hal yang saya sukai dari buku ini adalah ilustrasi yang ada di setiap judul cerpen. Gambaran mengenai tokoh yang diceritakan dalam cerpen tersebut. Ilustrasi yang membuat para pembacanya akan lebih meresapi setiap cerita yang disajikan. Selain itu, saya juga menyukai gaya kepenulisan pujangga besar ini. Bahasanya yang arkais, membuat saya terhanyut dalam lembaran-lembarannya. Bahkan saya merasa kalau kalimat-kalimat itu justru mengantarkan pesan dengan lebih manis dan tepat. Dan itu menjadi sesuatu yang sulit kita dapatkan di zaman yang semakin modern ini. Terlebih lagi, bahasa yang kita gunakan saat ini telah dibakukan dan banyak berkembang. Jauh berbeda dengan masa W. S. Rendra.

Dari judulnya, kita sudah bisa menafsirkan isi dari buku kumcer ini. Kebanyakan ceritanya mengisahkan tentang percintaan, hasrat yang dimiliki oleh seorang anak muda, kepatahatian, diselingi juga dengan nilai kekeluargaan, musyawarah, dan persahabatan. Nilai yang sangat dijunjung pada masa itu. Mengingat jumlah cerita yang lumayan banyak, saya hanya akan menuliskan tiga sinopsis cerpen yang paling saya sukai. Berikut sinopsisnya:


Pohon Kamboja

Menggunakan sudut pandang orang kedua, Pohon Kamboja bercerita mengenai seorang lelaki tua yang suka merawat pohon kamboja di belakang rumah anaknya.  Ketika menyiram pohon itu, ia sering berbincang-bincang dengan tetangganya. Menurut kacamata tetangganya itu, si kakek sangatlah mencintai anak lelakinya yang lain bernama Herman. Sebab, Herman memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh saudara-saudaranya yang lain. Ia sangat jago berkelahi. Ia tidak bisa dikalahkan oleh siapapun. Kemampuan itu diajarkan sendiri oleh si kakek. Namun, beberapa tahun yang lalu Herman pergi dan menghilang. Pada mulanya, kakek masih memperoleh kabar mengenai anak kesayangannya itu. Tetapi, beberapa waktu kemudian kakek benar-benar kehilangan komunikasi. Itulah mengapa ia menanam pohon kamboja tersebut. Pohon kamboja selalu mengingatkannya pada Herman.

"Bunga kamboja ialah bunga yang berwatak. Ia tidak terpengaruh oleh keadaan. Ia senantiasa mempunyai keagungan. Meskipun ia biasa tumbuh di kuburan, ia tak bisa dinamakan bunga kematian. Terbukti apabila ditanam di halaman seperti ini, ia pun akan bisa memberikan keindahan yang tersendiri. Itulah namanya watak dan keagungan."
 - Hal. 103

 Ia Membelai-belai Perutnya




Seorang gadis yang tidak disebutkan namanya, telah terjerat dalam lubang kemaksiatan. Ia begitu bingung dan takut terhadap jabang bayi yang tengah dikandungnya. Narso, lelaki yang sangat ia cintai yang juga menjadi orang yang harus bertanggungjawab atas segala yang terjadi, tidaklah patut untuk dituntut kewajibannya. Ia seorang lelaki yang liar dan bengal. Kawin dengannya hanya akan melahirkan persoalan baru; nestapa dan penderitaan. Melihat masalah pelik yang dialami oleh gadis itu, kita akan tahu betapa dilemanya ia. Konsekuensi dari apa yang telah ia lakukan sendiri.

"Kemudian ia tengadah, mencari wajah Tuhannya. Ia tak berani minta ampun. Menatap saja ia dengan matanya yang basah. Tuhan tahu segalanya karena itu terserahlah semua kepada-Nya."
- Hal. 116 
Gaya Herjan

Herjan baru saja putus cinta. Pelawak itu benar-benar patah hati dengan kekasihnya yang lebih memilih seorang pilot daripada dirinya. Kepatahatian itu membuatnya mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak ikut bergabung dengan kawan-kawannya yang bertamasya. Kawan-kawannya pun memahami apa yang sedang bergejolak di dada Herjan. Sepanjang perjalanan, kawan-kawan Herjan terus saja membicarakan dirinya. Mengenai lelucon yang tidak akan ada lagi pada dirinya. Mereka bahkan memikirkan hal-hal lain yang mungkin akan dilakukan oleh Herjan. Gantung diri, minum racun tikus, dan hal lainnya semacam itu.

"Mas Herjan yang baik.Dengan surat ini saya akan menyatakan dengan perasaan yang sangat menyesal, bahwa saya tidak berani mencintai Mas lagi, sebab saya selalu merasa diri saya rendah apabila berada di dekat Mas. Pikiran saya hanya mampu untuk sampai kepada hal-hal yang ringan dan gampang, seperti tentang hal keadaan cuaca dan mesin terbang umpamanya, tetapi saya tidak mampu untuk bisa ikut menjangkau cita-cita Mas untuk menjadi seorang artis film. Meskipun akan lekas gampang dimengerti oleh orang yang normal bahwa kedudukan seorang bintang film lebih tinggi dari seorang pilot. Sebab, bukankah letak bintang memang lebih tinggi dari sebuah pesawat terbang yang paling tinggi sekalipun?Sekianlah.Harap Mas memaafkan saya."
MURNI
- Hal. 126

***

Banyak pesan yang saya dapatkan dari buku ini. Pacar seorang seniman menunjukkan kacamata yang berbeda dalam menilai dan memandang suatu perkara. Mengembalikan kenangan kita pada suasana silam yang penuh dengan kesederhanaan dan kedamaian. Mengajar sekaligus menghibur.

Books Review: Sharp Objects by Gillian Flynn

Kamis, 02 Maret 2017



Kalau mendengar judulnya, mungkin belum terdengar familier. Tapi, bagaimana dengan penulisnya? Gillian Flynn adalah penulis Best Seller novel Gone Girl yang juga telah diadaptasi ke dalam film pada tahun 2014. Salah satu film terbaik dan masuk ke beberapa nominasi penghargaan film. Genre dari kedua buku Gillian sendiri, tidak jauh berbeda. Berkaitan dengan pembunuhan, misteri, dan wanita. Bahkan setelah menikmati dua karya Gillian dalam bentuk buku dan film, saya berpikir kalau Gillian memang ingin menunjukkan sisi kelam dan liciknya seorang wanita. Karena Gillian akan mengenalkan kita pada sosok wanita yang sangat berbeda daripada yang biasa kita temui. Jauh dari kata manis, lembut, dan ramah. Ya, meskipun tidak semua karyanya menggambarkan hal itu. Berikut adalah sekilas trailer dari film Gone Girl:




Sharp Objects sendiri berkisah mengenai seorang reporter berita kriminal bernama Camille Preaker. Ia ditugaskan oleh atasannya untuk meliput sekaligus menyelidiki kasus pembunuhan dua anak perempuan di kampung halamannya, Wind Gap. Sebenarnya ia tidak mau, tapi ia tidak punya pilihan lain. Camille harus kembali ke tempat yang paling ia hindari. Bertemu dengan orang yang paling ia jauhi, Ibunya. Hubungan Camille dan Ibunya memang tidak baik. Sejak kecil, ia tidak pernah dekat dengan Ibunya. Sementara Ayah, Camille bahkan tidak mengetahui nama laki-laki yang harusnya menjadi sosok Ayah baginya. Ia hanya mengenal Alan, suami baru Ibunya yang juga Ayah dari adik tiri yang ia sayangi, Marian. Sayang, Marian meninggal karena sakit yang ia derita ketika Camille berumur 13 tahun. Hal itu semakin membuat jarak antara Camille dan Ibunya.

Bertahun-tahun tidak kembali ke kota kelahirannya, tidak banyak yang berubah. Hampir semuanya masih sama begitu pula dengan orang-orangnya. Camille bisa bertemu dengan beberapa teman lamanya dan teman Ibunya. Ia juga bertemu Amma, adik barunya yang kini menginjak umur belasan tahun. Begitu muda dengan kebinalan yang sangat lihai ditutupi lewat tingkah manis dan lugunya. Selama mencari berita yang bisa dikutip, Camille turut berusaha untuk mencari tahu pelaku pembunuhan. Awal yang memperkenalkannya dengan Richard, seorang detektif khusus dari Cansas City yang sengaja dipanggil untuk menyelidiki kasus tersebut. Itulah yang saya sukai dari Gillian Flynn. Ia bisa membungkus percintaan, kegilaan,  kebrutalan, dan kesedihan dalam satu paket yang apik.

Masalah selalu datang jauh sebelum kau benar-benar melihatnya.
-       Hal. 83


Satu hal pasti yang bisa dijadikan garis besar dari novel ini. Sakit.

Entah itu menyakiti, disakiti, bahkan mencari kesenangan dari rasa sakit itu sendiri. Mungkin itulah yang menjadi alasan mengapa buku ini diberi judul “Sharp Objects”. Membaca buku ini, kalian akan diajak untuk berhadapan dengan kegilaan yang perlahan akan menggiring kalian untuk membuka rahasia yang tersembunyi. Sesuatu yang bisa jadi sesuai dengan apa yang kalian pikirkan atau malah sebaliknya.

Dari segi penulisan, saya tidak mengalami kesulitan yang berarti. Sharp Objects milik saya, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga saya juga kurang tahu dengan tulisan asli yang menggunakan bahasa Inggrisnya. Namun, dari terjemahannya, saya masih bisa menangkap maksud yang disampaikan oleh Gillian. Meskipun ada beberapa kalimat yang perlu dibaca beberapa kali untuk memahaminya. Terlepas dari penulisan, Sharp Objects mengajarkan sesuatu yang baru bagi saya. Mungkin juga kalian, para pembacanya.

Kadang-kadang saat kau membiarkan orang-orang melakukan sesuatu padamu, sebenarnya kau melakukannya pada mereka.
- Hal. 328

Sayangnya, bagian akhir dari novel ini terkesan buru-buru dan terlalu cepat. Seolah teka-teki terungkap dengan begitu saja. Tanpa penambahan atau pengurangan. Sehingga lebih terlihat sebagai pemaparan dari rahasia demi rahasia. Seperti kunci jawaban yang dibuka satu persatu. Selain itu, secara subjektif, saya mengalami kepatahatian di bagian akhir. Karena, tebakan saya mengenai ending novel ini ternyata benar. Bagi saya, itu sesuatu yang buruk sekaligus menyenangkan. Buruk, dikarenakan tebakan yang benar, saya justru tidak bisa merasakan ketakjuban yang harusnya saya alami. Saya tidak terkejut di saat seharusnya saya terkejut.  Hal itu yang membuat saya malah tidak bisa menikmati bagian akhirnya secara maksimal. Bagian menyenangkannya adalah, ya jelas, karena tebakan saya benar mengenai akhir ceritanya. Kalian tahu? Betapa bahagianya ketika saya ternyata memiliki jalan pikiran yang sama dengan penulis buku ini.

Secara keseluruhan, saya menyukai buku ini. Sebagai novel bergenre thriller, Sharp Objects bisa menjadi salah satu hiburan yang menyenangkan, menegangkan, sekaligus mencengangkan. Secara tidak langsung, Gillian juga menunjukkan lika-liku yang harus dihadapi oleh seorang reporter kriminal seperti Camille. Ada satu kutipan yang paling saya sukai dalam novel ini terkait dengan profesi reporter:

Reporter itu seperti vampir. Mereka tidak bisa masuk ke rumahmu tanpa undangan, tapi sekali mereka masuk, kau tidak akan bisa mengeluarkan mereka hingga mereka menyedot darahmu sampai kering.
Hal. 138-139
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS