La La Land, Kota Penuh Mimpi, Cinta, dan Harapan

Senin, 30 Januari 2017

Sumber: google.com
Beberapa hari yang lalu, saya menghabiskan waktu dengan menonton film. Salah satu film yang membuat saya tertarik untuk mengulasnya adalah, La La Land.

Ya, ini adalah film yang sedang naik daun sekarang. Karena sering kali dibuat meme untuk debat cagub DKI Jakarta saat ini. Terlepas dari itu semua, saya memang sejak awal ingin menonton film ini. Apalagi, setelah salah seorang Youtuber mengcover salah satu soundtrack film ini. Itu semakin menambah rasa penasaran saya mengenai film ini. Alasan lain yang mendorong saya untuk segera menonton film ini adalah, seperti yang kalian tahu, film ini banyak memenangkan penghargaan di ajang perfilman hollywood.

***



La La Land merupakan film drama komedi musikal romansa Amerika Serikat. Disutradarai oleh Damien Chazelle dan dibintangi oleh Ryan Gosling, Emma Stone, John Legend, dan Rosemarie DeWitt.(Wikipedia)

Alurnya sendiri, bercerita tentang dua orang yang sama-sama memiliki mimpi besar. Sebastian (Ryan Gosling) adalah seorang pianis yang sangat menyukai musik jazz. Ia bekerja sebagai pemain piano di sebuah restoran kecil di Los Angeles, sebelum akhirnya ia dipecat karena melanggar perintah bosnya untuk tidak memainkan musik yang tidak boleh ia mainkan. Mia (Emma Stone), merupakan gadis yang bermimpi menjadi seorang aktris terkenal. Ia selalu mengikuti casting meski entah sudah berapa kali pihak perfilman menolaknya.

Mereka bertemu secara (tidak) sengaja, ketika Mia mendengar dentingan piano yang dimaikan Sebastian di dalam restoran. Kemudian, Mia memasuki restoran untuk melihat siapa yang memainkan musik itu. Tetapi, suasana hati Sebastian sedang tidak baik saat itu sehingga Sebastian mengabaikan Mia. Lalu mereka bertemu lagi saat pesta musim panas. Mulai dari situlah, mereka saling berhubungan dan dekat.

Sebastian punya mimpi untuk mendirikan kafe yang memainkan musik jazz murni di dalamnya. Sebab, kebanyakan musik jazz yang ia lihat, tidak mengalunkan musik jazz yang murni. Pasti ada saja tambahan atau aransemen yang justru menghilangkan identitas dari jazz itu.

Mereka berdua memiliki banyak kesamaan (menurut saya). Mereka adalah dua orang yang sama-sama mencari harapan di kota yang penuh bintang. Mereka saling berusaha untuk meraih impian dan saling menguatkan satu sama lain. Pada akhirnya, apa yang mereka inginkan dapat tercapai. Tapi dengan cara yang berbeda. Sebastian bisa membangun kafenya sendiri dengan musik jazz murni mengalir anggun dari dalam kafe. Namun sebelumnya, ia harus menunda apa yang menjadi prinsipnya. Ia mengalah untuk mengabaikan musik jazz murni dan bergabung dengan band yang ditawarkan temannya. Sedangkan Mia, ia bisa menjadi seorang aktris yang begitu terkenal. Ia pergi ke Paris untuk bermain film. Setelah sebelumnya, ia hampir gagal dengan penampilan monolognya. Setelah ia menyerah untuk tidak mengikuti audisi lagi. Dan akhirnya, panggilan itu datang.

sumber: google.com
Terlepas dari alur cerita yang begitu manis dan elegan, film ini disuguhkan dengan berbagai soundtrack yang juga tak kalah romantis. Kita juga akan ikut tenggelam dalam alunan lagu City of Stars yang menjadi salah satu soundtrack utama film ini. Mengingat genre film ini yang merupakan film drama musikal, film ini menyatukan antara drama dan musik dengan sangat baik. Selain itu, adegan demi adegan antara Ryan Gosling dan Emma Stone membuat kita semakin terpesona dengan keteguhan mereka dalam meraih mimpi. Juga dalam menerima apa yang menjadi risiko untuk mendapatkan mimpi itu. Dan benar saja, mereka bisa menjadi apa yang mereka inginkan. 

Kekurangan film ini, hmm.. saya masih mencari. Yang jelas, banyak nilai plus yang bisa saya dapatkan dari film ini. Untuk judulnya, La La Land sendiri, ada yang mengatakan bahwa itu merupakan gambaran kota yang dipenuhi oleh mimpi dan harapan banyak orang. Mengingat, Los Angeles, tempat syuting film ini, merupakan salah satu tempat yang banyak diimpikan orang untuk meraih mimpi.

Akhir dari film ini, sebenarnya sangat mengecewakan (bagi saya). Tapi, memang menggambarkan kenyataan yang biasanya terjadi di sekitar kita. Terkadang, kita harus bisa merelakan sesuatu demi hal lain yang kita inginkan, yang benar-benar kita butuhkan. Sebab, ada banyak hal di dunia ini yang dipertemukan, tetapi dengan maksud yang berbeda. Bahkan jauh dari apa yang kita harapkan. Meski begitu setiap cerita yang terjadi selalu punya alasan untuk terjadi. Dan akan selalu manis untuk dikenang kembali.

Books Review: A Man Called Ove by Fredrik Backman

Sabtu, 28 Januari 2017

Assalamu'alaikum.

Setelah beberapa minggu yang menyibukkan, akhirnya saya bisa kembali menulis review buku lagi. Akhirnya saya bisa menyelesaikan satu buku lagi di tahun ini. Dari judul di atas, pastilah kalian sudah tahu buku apa yang akan saya review kali ini. Ya, ini merupakan karya penulis Swedia yang pertama yang saya baca dan saya harap, kalian juga akan tertarik dengan buku ini.

***

Sebelumnya, saya sudah mengetahui buku ini lewat website yang saya selancari di internet. Namun saat itu saya masih belum terlalu tertarik. Ah, mungkin ceritanya akan membosankan, begitu pikir saya. Mengingat, cover dari buku ini adalah siluet lelaki tua bertongkat dan sebuah mobil Saab yang tua.

Kebetulan, beberapa minggu yang lalu saya pergi ke satu-satunya toko buku-yang menjual novel-novel-di kota saya. Sebenarnya saya mencari novel dari penulis favorite saya. Tapi, buku itu masih dalam stock kosong. Sehingga saya memutuskan untuk melihat-lihat buku yang lain dan akhirnya, bertemulah saya dengan buku Ove ini. Dan ternyata, pemikiran awal saya salah. Sangat salah.

Sebelum terlibat lebih jauh dengannya, biar kuberi tahu. Lelaki bernama Ove ini mungkin bukan tipemu.

Ove bukan tipe lelaki yang menuliskan puisi atau lagu cinta saat kencan pertama. Dia juga bukan tetangga yang akan menyambutmu di depan pagar sambil tersenyum hangat. Dia lelaki antisosial dan tidak mudah percaya kepada siapapun.

Seumur hidup, yang dipercayainya hanya Sonja yang cantik, mencintai buku-buku, dan menyukai kejujuran Ove. Orang melihat Ove sebagai lelaki hitam-putih, sedangkan Sonja penuh warna.

Tak pernah ada yang menanyakan kehidupan Ove sebelum bertemu Sonja. Namun bila ada, dia akan menjawab bahwa dia tidak hidup. Sebab, di dunia ini yang bisa dicintainya hanya tiga hal: kebenaran, mobil Saab, dan Sonja.

Lalu... masih inginkah kau mengenal lelaki bernama Ove ini?

Ketika membaca sinopsisnya, saya mulai tertarik kembali. Saya berpikir, lelaki tua seperti Ove ini, pasti memiliki alasan tertentu yang menyebabkan ia menjadi orang yang antisosial dan begitu sulit percaya kepada siapapun. Tentulah, hidup yang ia alami tidak mudah. Karena saya percaya, pasti ada alasan di setiap tindakan yang orang lakukan. Begitupula dengan Ove. Bagian yang saya ingin cari tahu adalah, ada apa dengan Ove?

Saya begitu puas dengan setiap bagian yang sedikit demi sedikit saya ketahui mengenai Ove. Beberapa memang sesuai dengan ekspetasi saya, namun itu tidak mengurangi kemenarikan dan rasa dari cerita ini. Perlahan, saya akan mengenal Ove. Lelaki yang begitu jujur dan patuh aturan. Lelaki yang kesetiaannya tidak dapat diragukan lagi.




Lelaki tua yang begitu mencintai Saab ini, memang sangat pelit dan pemarah. Terkadang, saya juga dibuat tertawa dengan tingkahnya yang jenaka. Meski sebenarnya, ia sedang tidak benar-benar bercanda. Satu-satunya orang yang ia cintai di dunia ini-selain kedua orang tuanya-adalah Sonja. Gadis yang ceria dan ramah, yang kelak menjadi pendampingnya seumur hidup. Ketika membaca bagian awal dari buku ini, segera terlukis di benak saya betapa Ove mencintai Sonja. Hingga Ove berkali-kali melakukan percobaan bunuh diri. Ya, Ove begitu hitam-putih hingga tidak ada warna yang bisa mengisinya, kecuali Sonja.

Orang mengatakan Ove melihat dunia dalam warna hitam-putih. Namun, perempuan itu berwarna-warni. Seluruh warna yang dimiliki Ove.
Hal. 62

Untuk alur ceritanya, saya tidak ingin menguraikan lebih banyak lagi. Cukuplah, rasa yang saya dapatkan di setiap lembar halaman buku itu saya simpan sendiri. Jika kalian ingin mengetahui lebih jauh, mengapa tidak mengenal Ove sendiri secara langsung? Bukankah, kita akan lebih akrab jika bertemu langsung dengan sosok itu?

Dari segi kebahasaannya, saya tidak merasa terganggu sama sekali. Meskipun terjemahan, saya tetap bisa merasakan setiap bentakkan dan rengutan Ove. Sehingga saya begitu mudah menangkap setiap makna yang ingin disampaikan dalam cerita-ceritanya. Saya menikmati keseluruhan novel ini.

Novel ini dibagi dalam 40 bagian, yang setiap bagiannya memiliki judul berbeda. Selain itu, perbagiannya berisi cerita berbeda namun saling berhubungan dengan bagian yang lain. Terkadang, beberapa bagiannya juga menceritakan kilas balik. Masa lalu yang melahirkan sosok Ove dan sikap antisosialnya. Salah satu bagian favorite saya, adalah ketika Ove sampai pada titik terendahnya. Ketika ia sudah jenuh dengan segalanya.




Melalui novel ini, saya menemukan sudut pandang baru dalam menghadapi seseorang yang memiliki perilaku dan karakter yang sama seperti Ove. Yakinlah, pasti ada sesuatu yang menyebabkan seseorang menjadi seperti itu. Mungkin ia telah kehilangan harapannya, cintanya, atau cinta yang mengisi hidupnya. Tetapi bagaimanapun buruknya orang seperti Ove ini, mereka tetap memiliki rasa kemanusiaan, kasih sayang, dan perhatian yang tinggi. Hanya saja, sulit bagi mereka untuk menunjukkan itu semua. Sebab, mereka memandang dunia tak lagi sama. Jujur saja, saya banyak belajar dari buku ini. Bagaimana luar biasanya seorang lelaki yang teguh dengan komitmennya. Pada apa yang ia yakini dan percayai. Betapa manisnya ia pada seseorang yang ia cintai, meski ia memandang dunia kini begitu hitam dan gelap. Dan betapa kerasnya ia berjuang demi orang-orang yang ia sayangi. Tidak ada yang bisa menandingi cinta dan kasih sayang seperti ini.

"Konon, lelaki terbaik lahir dari kesalahan mereka sendiri, dan mereka sering kali menjadi lebih baik setelahnya, melebihi apa yang bisa mereka capai seandainya tidak pernah melakukan kesalahan," kata Sonja lembut.
Hal. 200


Itulah yang bisa saya bagikan kepada kalian mengenai Ove. Ia lelaki yang pemarah, pelit, keras kepala, baik hati, jujur, dan setia. Mungkin, kita akan melihatnya sebagai sosok kakek tua yang pemarah dan kasar pada mulanya, tetapi ketika kita sudah mengenalnya, menilik masa lalunya, kita akan tahu bahwa apa yang telah dilaluinya selama ini, bukanlah perkara yang mudah. Dan tidak semua orang bisa menghadapinya, seperti yang ia lakukan.
***

By the way, ini merupakan buku yang sudah cukup lama dan sudah diangkat dalam bentuk film. Trailernya bisa kalian lihat di bawah ini:


Karena baru selesai membaca novelnya saat ini, saya masih belum tahu bagaimana dengan filmnya. Apakah sebagus novelnya? dan apakah ceritanya sesuai dengan ekspetasi saya? Hehe.. yang jelas, saya cukup penasaran dengan film ini.

Akhir kata, terima kasih sudah mampir dan membaca review ini. Berkenalanlah dengan Ove, sebab kalian akan belajar banyak hal darinya. Saya juga berharap kalian bisa menemukan keteguhan dan ketulusan di hati orang yang kalian cintai. Seperti Sonja, gadis penuh warna yang memperoleh cinta dan kebahagiaannya dari Ove, seorang lelaki hitam-putih.

Books Review: The Seven Good Years by Etgar Keret

Jumat, 13 Januari 2017

The Seven Good Years adalah buku pertama yang selesai saya baca di awal tahun ini. Sekaligus juga menjadi buku memoar pertama yang saya baca. Buku inilah yang membentuk kesan pertama saya terhadap karya seorang penulis Israel, bernama Etgar Keret. Secara pribadi, saya belum pernah membaca karya-karya Etgar Keret. Melalui review seorang penulis favorit sayalah, akhirnya saya memutuskan untuk membeli dan membaca salah satu karyanya. Karya yang dikatakan oleh penulis idola saya, sebagai karya terbaik Etgar Keret.

Sesuai dengan judulnya, memoar ini terbagi atas tujuh bagian yang menggambarkan tujuh tahun terbaiknya. Mulai dari cerita mengenai kelahiran anak pertamanya, Lev, sampai kisah tentang Ayahnya yang meninggal dunia. Karena ini adalah karya pertama yang saya baca dari seorang penulis Israel–yang kita tahu bahwa negara itu merupakan daerah konflik yang kapan saja bisa terjadi serangan bom–setidaknya, buku ini bisa memberikan gambaran yang nyata kepada saya bagaimana situasi sebuah daerah yang sedang berperang. Sangat nyata.

Meskipun dilatarbelakangi oleh peperangan, tidak semua ceritanya melulu tentang penderitaan dan kesedihan. Sebaliknya, Etgar justru membungkus kenangannya begitu rapi dengan jenaka dan humanis. Ya, saya bisa tertawa tiba-tiba dibuatnya. Terkadang juga sekaligus merasa terharu, kasihan, atau menggurat senyum pahit sembari terus membaca.


Aku berpikir sejenak sebelum menjawab. “Lihat,” kataku sambil membelai pipinya, “dunia yang kita tinggali kadang bisa menjadi sangat keras. Dan, ini akan adil untuk setiap orang yang lahir mendapatkan setidaknya satu orang yang selalu akan ada di sana untuk melindunginya.”
-      Hal. 175

Setiap bagian dari buku ini, memiliki kenangannya tersendiri. Begitupula bagi saya. Satu hal yang harus saya ingat ketika ingin membaca tulisan Etgar adalah, saya harus memiliki tingkat konsentrasi dan kefokusan yang tinggi, setidaknya begitu. Sebab, di hampir setiap bagian saya memiliki kebingungan tersendiri dengan makna dan maksud yang ingin disampaikan oleh Etgar Keret. Begini, dalam hobi membaca–entah itu novel, cerpen, memoar, atau jenis sastra apapun–saya terbiasa dengan prinsip utama bahwa ‘saya harus memahami maksud dan pesan yang ingin disampaikan dalam tulisan itu’. Sehingga setiap kali saya selesai membaca, maka dalam pikiran sayapun akan muncul pertanyaan, “Apa yang bisa kamu simpulkan dari cerita ini?”

Dan saya tidak mendapatkan jawabannya dalam beberapa cerita di buku The Seven Good Years ini. Sebenarnya saya juga sangsi, apakah memang maksud dari cerita yang sulit saya pahami, apakah kalimat terjemahannya yang kurang saya resapi, apakah tulisan dari Etgar Keret sendiri yang (jujur saja, saya merasa) agak berbelit, atau memang pemikiran saya yang masih sangat dangkal dan sempit sehingga tidak begitu paham dengan makna yang disampaikan oleh si penulis? Hhmm.. saya lebih memilih asumsi yang terakhir. Haha.

Kendati demikian, saya masih bisa menemukan bagian lain yang begitu saya pahami. Ketika saya dapat menangkap apa yang ingin diungkapkan Etgar, saya merasa begitu mengenalnya. Mungkin ini terbaca sedikit aneh, tapi memang seperti itu nyatanya. Saya baru mengetahui tentang seorang keturunan Yahudi yang amat berpihak kepada perdamaian di negara berpendudukan Muslim dan dunia. Bahkan, ia pun pernah disambut baik dalam acara kepenulisan (mungkin, itu acara kepenulisan) yang dihadiri oleh Gubernur dan perwakilan keluarga kerajaan di Istana Bali.



Aku adalah penulis Israel pertama yang pernah datang ke Bali. Aku bahkan mungkin menjadi orang Israel pertama atau bahkan orang Yahudi pertama yang pernah dilihat oleh hadirin di sini. Apa yang mereka lihat ketika melihatku? Mungkin seekor kadal, dan dari senyuman yang mulai memancar di wajah-wajah mereka, kadal ini jauh lebih kecil dan lebih ramah daripada yang mereka bayangkan.

-      Hal. 32

Saya kira, itulah yang bisa saya sampaikan setelah membaca buku ini. Kisah dan kenangan yang penuh kelucuan, keharuan, dan makna yang mendalam. Ketika membacanya, kita tidak hanya akan terbius oleh kekhasan dari bahasa dan latar hidupnya, melainkan juga menikmati ketersesatan kita dalam setiap bagiannya.


“Saya peringatkan Anda sebelumnya,” katanya dengan senyuman, “ini sangat tidak nyaman. Tetapi, ini akan membuat Anda keluar dari sini, dan Anda akan mempunyai cerita yang bagus untuk ditulis.” Dan dia benar.


-      Hal. 128
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS