Cerpen: Musim Panas Elina

Kamis, 23 Februari 2017


pinterest

      Gadis itu menatap lembut awan dan desiran angin yang menggoyangkan dedaunan pohon di hadapannya. Begitu menyenangkan. Dari balik jendela, ia duduk dengan kedua tangan menopang dagu. Indah sekali di luar sana. Andai saja, aku bisa bebas melangkah di rerumputan yang tinggi dan menikmati dinginnya embun pagi hari ini, pikirnya.
      Tanpa ia sadari, seseorang memasuki kamarnya. Seorang lelaki seumuran dengannya. Ia selalu memakai baju putih berkancing dan membawakan senampan makanan berisi nasi–di lain waktu berupa bubur atau sup, lauk-pauk, buah, dan segelas air mineral.
      “Masih menatap langit?” tanyanya.
       Gadis itu berbalik ke arahnya, “Bukan. Aku sedang mencari hujan.”
     Tanpa menghilangkan senyumannya lelaki itu menaikkan salah satu alisnya, “Lalu, kalau tidak ada hujan hari ini bagaimana?”
      “Aku akan tetap menunggu di sini.”
      “Begitukah?” lelaki itu memiringkan sedikit kepalanya, “Apa kau tidak mau keluar menikmati hangat mentari hari ini? Kalau kau mau, aku bisa menemanimu. Tapi, sebelum itu habiskan dulu sarapanmu.”
      “Tidak. Aku tidak akan makan, sebelum hujan turun hari ini.”
     “Wah, sayang sekali. Padahal hari ini sepertinya tidak akan ada hujan. Itu berarti kau tidak akan makan seharian.” ucap lelaki itu yang kini telah duduk di kursi yang berada tak jauh dari tempat si gadis.
      “Kalau memang begitu, biarlah.”
      Lelaki itu terdiam. Ia sedang memikirkan kata apa lagi yang harus diucapkannya agar gadis di hadapannya ini menyuapkan sedikit nasi ke mulutnya. Sudah dua hari gadis ini hanya duduk di depan jendela. Hanya mau minum itupun kalau dipaksa.
      “Siapa namamu?” tanya lelaki itu kemudian.
      “Elina.”
      Sambil berdehem lelaki itu memicingkan kedua matanya.
      “Namaku Adera.”
      “Aku tidak bertanya.” balas si gadis terus menatap jendela.
    “Baiklah, Elina. Aku akan membiarkanmu duduk di sini dan menikmati apa yang sedang kau tunggu. Tapi jika kau berubah pikiran, panggilah aku. Aku akan mengantarkan makanan lagi siang nanti.” Jelas lelaki itu akhirnya setelah hampir lima menit mereka terdiam, “Dokter akan memeriksamu jam 3 sore nanti. Sebelum kunjungan itu, kuingatkan agar kau menghabiskan makanmu. Sebab, jika tidak mereka akan membawa perawat lain untuk memaksamu makan.”
      “Aku mengerti.”

***

      Lelaki itu memandang beberapa lembar kertas di tangannya. Pikiran jauh melayang pada seorang gadis yang tadi pagi ditemuinya. Elina.
     Gadis itu sudah hampir satu bulan tinggal di tempat rehabilitasi di mana ia bekerja saat ini. Dirinya sendiripun hampir dibuat tak percaya saat melihat gadis yang begitu manis dan anggun seperti dia terikat di ranjang atau duduk dengan tatapan kosong menghadap jendela. Di lubuk hatinya yang terdalam, ia ingin menolong gadis itu. ‘Gadis itu gila. Jangan dengarkan apa yang diucapkannya. Calon suaminya tewas dalam kecelakaan yang mereka alami tepat dua hari sebelum pernikahan mereka. Tragis sekali. Akupun sering kasihan melihatnya. Seharusnya, dia bisa melewati masa sulit itu dan tidak terjebak di tempat ini’ ucap kawan lelaki itu suatu kali padanya.
      Tiba-tiba telepon di ruangannya berdering. Ia segera membuyarkan lamunannya dan meraih ganggang telepon.
      “Dera, cepat ke ruangan Elina. Gadis ini mengamuk lagi!”
      “Baiklah! Aku akan ke sana.”
      Perawat bernama Dera itu, bergegas menuju ruangan si gadis. Di tangannya sudah tersedia sekeranjang kecil suntikan, jarum, dan botol kecil berisi cairan. Ketika masuk ruangan, sudah ada dua orang perawat lelaki yang menahan tangannya dan seorang perawat wanita yang berusaha menenangkannya. Tanpa bertanya, Dera segera menyiapkan suntikan dan menusukkan jarum tajam itu di kulit si gadis. Untuk beberapa menit, napas Elina mulai melambat. Gerakan tubuhnya pun mulai melemah. Matanya perlahan menutup seakan tidak sanggup melawan kekuatan yang menyerangnya. Lalu, mereka kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang.
      “Kita harus mengikatnya agar dia tidak kembali memberontak seperti tadi.” Ucap salah seorang perawat lelaki.
      “Memang, sebelumnya apa yang dia lakukan hingga mengamuk?” tanya Dera.
     “Kau tahu sejak tadi pagi dia hanya memandang jendela dan menunggu hujan. Hingga larut begini, ia tidak juga mendapati apa yang ditunggunya. Maka diapun mengamuk.” Jelas perawat wanita.
      “Kalau begitu, jangan ikat dia dulu. Akan kucoba besok pagi untuk membujuk dan menenangkan pikirannya.”
      Perawat lelaki yang tadi bicara terkekeh, “Sepertinya kau mulai menyukai gadis gila ini, ya?”
      “Apa maksudmu? Aku hanya prihatin melihat keadaannya.”
      “Tak usah bohong. Kalau gadis ini waras, akupun yakin pada diriku sendiri kalau aku akan jatuh cinta padanya. Sayang, dia gila.”
      Dera tidak membalas perkataan temannya. Mereka kemudian keluar dari ruangan dan mengunci pintu kamar.

***


pinterest
     Dera kembali memasuki kamar Elina. Gadis itu sudah duduk di tempat biasanya ia berada. Sepanjang hari hanya dihabiskannya dengan menatap jendela.
      “Mengapa kau selalu menunggu hujan?”
      “Mana makanan yang selalu kau antarkan untukku?”
      “Aku yakin selama kau tidak melihat hujan, kau tidak akan makan sedikitpun.”
      Gadis itu tersenyum pahit.
      “Lalu, mengapa kau selalu menunggu hujan?” tanya Dera lagi.
      “Leon suka sekali dengan hujan. Oleh karena itu, dia hanya akan datang saat hujan.”
     “Oh ya? Hanya karena itu?” Dera diam sejenak, “Kalau dirimu sendiri, sejujurnya apa kau juga menyukai hujan sama seperti Leon?”
      Elina berpikir. Mulutnya ia monyongkan ke depan dan menerawang jauh, “Sebetulnya, tidak juga. Aku sendiri biasa saja. Tapi demi bertemu dengan Leon, aku akan terus menunggunya.”
      “Begini, Elina. Kau tahu tidak, di negara kita ada dua musim. Hujan dan panas. Nah, sekarang ini sedang musim panas. Sebab itulah, jarang sekali hujan turun.” Dera menghentikan ucapannya sebentar, “Kalau kau mau, aku bisa menunjukkan keindahan musim panas padamu. Setidaknya, kau jangan hanya bergantung pada satu musim, kan?”
      Tanpa menunggu jawaban dari Elina, Dera melanjutkan, “Kau tidak boleh menolak. Aku akan mengajakmu ke luar. Aku tahu kau pasti sangat bosan di kamar ini. Lagipula, aku pernah sekali-dua mendengarmu mengeluh betapa indahnya sinar matahari pagi.”
      Dera meraih tangan Elina. Menggiringnya keluar ruangan. Ia sudah minta izin sebelumnya kepada dokter dan perawat lainnya. Tentu, awalnya mereka tidak setuju. Tapi setelah Dera membujuk mereka tiada henti, maka dokterpun mengizinkan. Lebih-lebih, dokterpun merasa Elina perlu sedikit hiburan agar mengurangi tekanan yang dideritanya.
      “Kemana kita akan pergi?”
      “Kita akan piknik di taman.”

***

      Dera memandang foto-foto di tangannya tanpa henti. Sesekali ia tersenyum, lalu menghela napas. Hari itu menjadi hari yang sangat menyenangkan baginya. Entah bagi Elina. Mereka makan di tengah taman yang hangat. Untungnya, Elina mau memakan sandwich dan roti panggang yang sudah ia siapkan dengan lahap. Untuk pertama kalinya, Dera melihat senyum gadis itu kembali merekah. Elina semakin terlihat manis di bawah banjuran sinar matahari di musim panas. Mereka duduk, berfoto, dan Dera membacakan sebuah cerita untuk Elina hingga gadis itupun tertidur beberapa saat. Seakan hari itu Elina telah menjadi gadis yang sangat berbeda dan sehat.
      “Terima kasih untuk caramu mengatasi masalahnya.” Dokter menjabat tangannya penuh sukacita, “Kalau kau melakukan ini dengan rutin, aku yakin Elina akan segera membaik. Oh ya, apa yang kamu katakan padanya ketika kalian berada di taman tadi?”
      “Sebagian hanya omong kosong saja. Aku menceritakan dongeng padanya. Selain itu aku juga berkata, kau boleh saja menunggu hujan. Tapi, setidaknya kau bisa melakukan sesuatu sembari menunggu hujan itu datang. Maka, kuajaklah dia bermain dan piknik di taman.”
      Setelahnya, keadaan Elina berangsur-angsur membaik. Ia memang masih duduk menunggu hujan datang, tapi tak lagi meraung-raung atau menahan lapar sampai ia melihat hujan. Ia bahkan sering berkeliling taman dengan Dera sambil bercerita banyak hal. Musim panas yang dilaluinya tidak lagi kering seperti sebelumnya. Dua bulan yang akan datang, dokter sudah bisa memastikan bahwa Elina bisa pulang dan dirawat di rumah. Betul-betul suatu keajaiban.

***

      Seminggu sebelum kepulangan Elina dari rumah sakit, hujan turun begitu derasnya. Rintik-rintiknya bergemuruh di atas atap. Petir dan kilat menyambar-nyambar silih berganti. Pemanasan global memang mengubah segala sesatu di permukaan bumi ini. Sampai-sampai musimpun dapat berganti-ganti sesuka hati mereka.
      Elina tengah menulis sesuatu di meja kamarnya–bahkan saking pesatnya perkembangan kesehatannya, dokter mengizinkan beberapa barang untuk ia pakai. Setelah selesai menulis, dilipatnya kertas itu kemudian diletakkan di atas meja. Dengan penuh kehati-hatian, ia berjalan ke luar kamar. Ia menghamburkan diri dan membiarkan tubuhnya diguyur hujan penuh dentuman.
      Dengan riang, ia berjalan menuju taman yang gelap.
      “Leon, aku datang.”

***

      Paginya, semua orang di rumah sakit dibuat terperanjat setengah mati. Bahkan, kecoa-kecoa dan tikus-tikus rumah sakitpun melongo dengan apa yang mereka lihat saat itu. Elina ditemukan tergeletak tak berdaya di ujung taman dekat pintu gerbang. Dari tubuhnya menguar bau hujan. Bajunya basah dan kotor dengan bekas-bekas tanah lembab. Di pergelangan tangannya, tergores lubang begitu dalam. Darahnya mengalir kemana-mana, seolah menjadi kubangan tempat ia berbaring dan menunggu. Wajahnya begitu putih dan dingin. Namun ia tersenyum begitu bahagia.

      Terima kasih untuk musim panasnya. Kau mengenalkanku pada musim panas yang indah dan hangat. Aku tidak akan melupakan itu. Tetapi, bagaimanapun hujan akhirnya datang juga. Leon menjemputku dan aku akan tinggal bersama dengannya. Selamanya.
-Elina

      Dera memandang kertas itu dengan tatapan nanar. Jari-jari tangannya amat ringkih menggenggamnya. Bagaimana bisa begini? Kukira, aku sudah bisa menyembuhkanmu. Membuatmu merasa lebih baik. Namun ternyata aku salah. Kau tidak akan pernah benar-benar sembuh, pikirnya.


pinterest

****

Books Review: Corat-Coret di Toilet by Eka Kurniawan

Sabtu, 18 Februari 2017





Ini adalah karya ketiga dari Eka Kurniawan yang telah saya khatam-kan. Setelah sebelumnya saya menyelesaikan Cantik Itu Luka, kemudian disusul dengan Sama Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Kesan pertama kali saya terhadap tulisan Eka adalah, sangat arkais dan berani.  Eka dengan yakinnya mengambil setting di tahun kolonial dan mengangkat cerita-cerita penuh konflik juga romantis. Meskipun begitu, saya tetap bisa menikmati setiap gaya bahasa dan penuturan yang disampaikan Eka dengan begitu manis.

Kembali kepada judul postingan ini, Corat-Coret di Toilet merupakan buku kumpulan cerita Eka yang pertama kali saya baca. Buku ini terdiri atas 12 cerita dengan tema yang berbeda. Namun kebanyakan mengandung unsur percintaan dan politik. Terlalu sedikit bagi saya, dengan jumlah buku yang hanya sekitar 120 halaman. Di antara semuanya, saya hanya akan menuliskan 3 sinopsis cerpen yang paling saya sukai. Berikut sinopsis singkatnya:

  • Siapa Kirim Aku Bunga?
Henri merupakan seorang kontrolir yang hidup pada akhir tahun 20-an di Hindia Belanda. Suatu ketika, ia mendapatkan sebuah bunga di restaurant tempat ia biasa bersantai dan berkumpul bersama teman-temannya. Dalam tangkai-tangkai bunga itu terselip kartu yang bertuliskan "Untuk Henri". Kejadian tersebut tak hanya terjadi sekali. Mulanya di restaurant, lalu di rumahnya, berlanjut di pemandian umum yang ia datangi. Berhari-hari ia terus dihantui oleh bunga-bunga yang selalu datang tanpa mengenal waktu dan tempat itu. Ia merasa takut dan bingung menerima bunga itu. Ia penasaran siapa gerangan yang telah mengirim bunga itu untuknya? Kebingungannya berujung pada seorang gadis penjual bunga yang ternyata selalu ada di manapun dirinya berada. Ia merasa gadis penjual bunga itu mengikutinya. Bisa jadi pula, gadis itulah yang memberinya bunga setiap hari. Maka, ia pun mencoba bertanya dan mendekati gadis tersebut. Hingga akhirnya, Henri sendiri yang jatuh hati pada gadis itu.

"Bunga itu lambang cinta, dan kau manusia yang kering akan cinta. Sudah selayaknya kau peroleh banyak-banyak bunga."

Akhir cerita yang sangat miris dan menyayat hati.
  • Peter Pan
Bercerita tentang seorang lelaki yang tidak disebutkan namanya. Ia hanya sebut sebagai kekasih Tuan Puteri yang kemudian dijuluki dengan Peter Pan. Peter Pan sangat membenci para pencuri buku. Maka, ia menjelma jadi seorang pencuri buku agar para penegak hukum menangkapnya. Dengan begitu, ia akan tahu kalau pemerintah juga memperhatikan betapa pentingnya sebuah buku. Tetapi, perkiraannya salah. Sudah bertahun-tahun ia mencuri buku, namun ia masih bisa berlenggang ke sana dan ke mari. Lalu, ia berniat untuk melakukan demonstrasi. Demonstrasi kecil-kecilan kalau saya bilang, sebab tidak ada yang simpati terhadap aksi protes tersebut. Tak juga digubris, akhirnya ia menuangkan pemikiran dan suaranya lewat sastra. Ternyata cara itu sangat berpengaruh dan mengancam Sang Diktator saat itu. Orang-orang pun ikut melakukan pemberontakan. Kini, justru hidup Peter Pan yang terancam.

... Tuan Puteri berkata kepadanya, di mana-mana rakyat begitu miskin sementara para pejabat hidup mewah. Negara sudah di ambang bangkrut karena utang luar negeri dan sang diktator sudah terlalu lama berkuasa, menutup kesempatan kerja bagi orang yang memiliki bakat menjadi presiden. Menurut Tuan Puteri, itu semua alasan yang cukup untuk mengumumkan perang gerilya, tetapi laki-laki itu keberatan. Katanya, alasan seperti itu sudah terlalu banyak diketahui orang, tapi nyatanya tak seorang pun menyatakan perang karena itu.

  • Tertangkapnya Si Bandit Kecil Pencuri Roti

Sesuai judulnya, Eka akan mengenalkan kita pada seorang anak lelaki yang hidup sebatang kara di sebuah kota kecil. Ia tinggal di hutan yang terletak di pinggir kota. Ia biasa memperoleh makanan dari warga kota yang bersimpati padanya. Sedangkan anak-anak sangat merasa iri padanya. Sebab, ia tidak perlu bersekolah, tidak perlu bangun pagi dan pulang siang hari, ia hidup bebas dan bisa pergi ke mana pun yang ia inginkan. Sampai suatu ketika, anak laki-laki itu mencuri roti di toko. Awalnya pemilik toko maklum akan hal itu. Tetapi ia terus mencuri. Sehari sekali, dua kali, lalu di toko roti lainnya. Warga kota pun geram dan melaporkan hal ini pada polisi. Pihak polisi tidak menggubris laporan itu mulanya. Namun, karena semakin hari para pemilik toko roti kian merasa dirugikan, maka para pemilik toko mengancam polisi kalau mereka tidak menangkap anak kecil itu, maka warga kota akan melaporkan polisi pada pihak atasannya. Itulah mengapa anak kecil itu dipanggil sebagai Bandit Kecil Pencuri Roti.

... Aku dan beberapa temanku pergi ke tempat persembunyiannya, untuk menangkap si pencuri berdosa itu, dan memberikannya kepada bapak polisi. Tapi ketika kami sampai di tempatnya, ia menawari kami roti-roti curian itu. Kami semua terpaku, mencoba mencicipi sedikit, dan lupalah kami kepada rencana untuk menangkapnya. Roti dari toko ternyata memang enak, satu jenis roti yang belum pernah kami temukan sebelumnya.

***

Adapun cerpen lainnya adalah:
Dongeng Sebelum Bercinta
Corat-Coret di Toilet
Teman Kencan
Rayuan Dusta untuk Marietje
Hikayat Si Orang Gila
Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam
Kisah dari Seorang Kawan
Dewi Amor
Kandang Babi


Corat-Coret di Toilet memang merupakan cerpen yang diambil judulnya sebagai judul utama buku ini. Tetapi saya justru tidak merasa istimewa dengan cerpen ini. Cukup menarik, namun tidak cukup untuk membuat saya berkata "Wahh". Selain itu, meskipun mengambil tema politik atau percintaan, Eka tetap menyisihkan sisi humornya. Dalam beberapa cerpennya, saya bisa dibuat tertawa rendah atau bersimpati kepada tokoh dalam cerita tersebut. Akan tetapi, tidak jarang pula saya sedikit bingung dengan makna yang ingin disampaikan oleh Eka. Ya, memang. Dari pandangan saya, Eka sering kali memasukkan pesan-pesannya secara tersirat dan untuk menemukannya, saya harus membaca bagian itu berulang kali lalu terdiam sejenak. Berdeham, kemudian mengangguk (sedikit) paham.

Demikianlah yang dapat saya bagikan mengenai kumcer dari Eka Kurniawan ini. Sama seperti karya-karya Eka sebelumnya, ia selalu bisa menyajikan konteks yang berat diiringi dengan guyonan dan mengudek perasaan.

Books Review: Elegi Rinaldo By Bernard Batubara

Selasa, 14 Februari 2017




     Pada kesempatan ini, saya ingin meresensi buku fiksi karya Bernard Batubara yang berjudul Elegi Rinaldo. Elegi Rinaldo termasuk ke dalam Blue Valley Series yang diterbitkan oleh Falcon Publishing. Terdapat 4 seri lainnya, yaitu Asa Ayumi karya Dyah Rinni, Melankolia Ninna karya Robin Wijaya, Lara Miya karya Erlin Natariwiria, dan Senandika Risma karya Aditia Yudis.

   Elegi sendiri berarti syair atau nyanyian yang mengandung ratapan dan ungkapan dukacita. Meskipun belum membaca keempat seri lainnya, saya merasa bahwa Blue Valley Series ini mengangkat satu tema yang sama. Cinta dan Kesedihan. Mungkin, lebih tepatnya kepatahatian. Karena, setiap judul dari serinya memiliki arti kata yang menggambarkan duka atau ungkapan kesedihan. Seperti asa, melankolia, lara, senandika, dan elegi.

     Dalam novel ini, Blue Valley digambarkan sebagai tempat perumahan yang dihuni oleh tokoh utama dalam cerita. Bisa dibilang, kalau ceritanya cukup klise. Seperti kebanyakan konflik yang diangkat dalam novel-novel lainnya. Sehingga saya dengan mudah bisa menebak akhir dari ceritanya.


Di pojok selatan Jakarta, kau akan menemukannya. Tempat itu tak sepanas bagian Jakarta lainnya. Langit di sana sering berubah seolah mengikuti suasana hati penghuninya. Kau akan bisa menemukannya dengan mudah. Ada banyak rumah di sana. Orang menyebut tempat itu Blue Valley.
Jika kau berjalan ke salah satu blok, kau akan menemukan rumah yang setiap pagi dipenuhi nyanyian Rihanna. Seorang pemuda kribo yang selalu menenteng kamera tinggal di sana bersama tantenya. Dia sering kali bersikap dingin. Dia menyimpan duka. Sisa penyesalan terdalam dua tahun lalu.
Ada gadis yang menantinya, dan ingin menamai hubungan mereka yang kian dekat. Namun, pemuda itu selalu ragu. Dia menyukai gadis itu, tetapi… selalu merasa bersalah jika memberikan tempat yang sengaja dia kosongkan di hatinya. Namanya Rinaldo. Panggil dia Aldo, tapi jangan tanya kapan dia akan melepas lajang.
 ***

     Dari sinopsisnya, kita bisa langsung menangkap masalah yang ditawarkan oleh Bernard. Kita akan mendapati Aldo, seorang food photographer, yang memiliki luka di masa lalunya. Saking pahitnya, ia bahkan sengaja mengosongkan hatinya untuk sekian lama. Sehingga ketika dia mengenal gadis bernama Jenny, dia mulai bimbang untuk membuka hati atau melewatkannya saja. Aldo masih belum bisa melupakan masa lalu beserta kehilangan demi kehilangan yang dirasakannya. Itulah mengapa ia sulit untuk memulai suatu hubungan yang serius. Begitu pula dengan Jenny yang memiliki pandangan berbeda dengan gadis pada umumnya mengenai suatu hubungan. Jenny ragu pada ikatan pernikahan. Menurutnya, pernikahan justru mengikat seseorang dari usahanya dalam meraih mimpi. Pernikahan akan membatasinya dan mengurungnya dengan segala kewajiban yang harus dijalankan sebagai seorang istri, dan dia tidak mau itu.

     Elegi Rinaldo akan membawa kalian pada banyak kebimbangan. Kemudian, menemukan bahwa sebenarnya keyakinan itu dapat berubah seiring dengan kejadian demi kejadian yang dialami oleh orang tersebut. Lebih-lebih, kalau mengenai hati. Keyakinan seseorang mengenai ‘cinta’ bisa berubah seiring berjalannya waktu. Ketika orang tersebut mengenal orang yang dapat mengisi hatinya kembali, saat itulah pandangan dan anggapannya tentang cinta akan berubah.

***

     Jujur saja, saya merasa kurang puas dari segi kepenulisannya. Saya sudah pernah membaca karya Bernard batubara yang lain, dan saya cukup kaget dengan karyanya yang satu ini. Dari kacamata saya, penulisan Bara penuh dengan bahasa yang manis dan penuturan yang begitu elok. Tetapi saya tidak menemukan hal itu dalam buku ini. Bahkan saya merasa ini bukan tulisan Bara. Tidak menggambarkan karakter dan identitas dari Bara. Saya berasumsi, kalau Bara (mungkin) ingin mencoba menulis dengan gaya yang berbeda dari biasanya.

  Keseluruhannya, buku ini disusun dengan cukup apik. Covernya yang menarik, mampu menggambarkan kepedihan yang disuguhkan dalam kisahnya. Meskipun konflik yang diangkat sangat lazim, Elegi Rinaldo tetap layak dijadikan sebagai salah satu buku referensi untuk mengisi waktu luang dan hiburan. Akan tetapi, (menurut saya) Elegi Rinaldo bukanlah karya terbaik dari Bernard Batubara. Mengingat, karya-karya Bernard sebelumnya memiliki rasa dan penulisan yang jauh lebih kuat serta identitas yang selalu menjadi ciri dari setiap karyanya.

***

Antara Berkorban dan Menyakiti Diri Sendiri

Sabtu, 11 Februari 2017

sumber: weheartit


Selamat malam...
Selamat bermalam minggu,
Selamat berbahagia,
Selamat menikmati kesendirian,
dan Selamat menunggu.


Malam ini, saya ingin berbagi cerita. Mengingat, memang cukup lama saya tidak lagi bercerita di blog ini. Bukan, ini bukan review buku atau film. Saya kembali lagi pada kebiasaan saya yang dulu. Curhat.

Bermula dari salah seorang teman, saya terdorong untuk membahas masalahnya dalam blog ini. Haha, sepanjang dia tidak membaca, sepertinya tidak akan menimbulkan masalah. Tapi, kalaupun dia membaca, paling tidak dia bisa mendengar pendapat saya. Meskipun pada kenyataanya, dia tidak membutuhkan pendapat dari saya. #okelupakan

***

Apa yang kamu pikirkan jika seseorang yang kamu sukai ternyata menyukai orang lain? Lebih parahnya lagi, dia justru kerap bercerita tentang orang yang dia sukai itu kepadamu. Bukankah itu sangat menyakitkan untuk didengar? Tapi percayalah, di dunia ini masih ada orang yang mau dan merelakan dirinya untuk melakukan hal bodoh itu. Ya, menurut saya sih begitu.

Begini, dalam hal jatuh cinta, entah itu benar-benar cinta atau hanya sekadar menyukai, terkadang kita sering larut dalam perasaan itu dan membiarkan diri kita dikuasai oleh perasaan kita sendiri. Sebenarnya itu bukanlah hal yang baik. Karena dengan begitu, kita akan selalu mau melakukan apapun yang dikatakan oleh hati kecil kita. Kita akan menurut saja. Tidak peduli apakah itu akan menyakiti perasaan kita sendiri. Yang penting, dia bahagia. Begitulah pikir kita. Akan tetapi, hal yang perlu dipertanyakan adalah, apakah keinginan untuk selalu membantu dan melakukan apapun untuk orang yang tidak menyukai kita, meski orang itu menyukai orang lain, benar-benar berasal dari hati kecil kita?

Terkadang saya heran. Sangat dibuat heran. Boleh dikatakan, bahwa saya memang tidak tahu apa-apa mengenai suatu hubungan. Namun, suatu kali saya pernah melihat seorang teman lelaki, yang saya tahu bahwa dia menyukai seorang gadis. Sebut saja misalnya lelaki itu bernama A dan gadis yang disukainya bernama B. Sayangnya, gadis B ini justru menyukai lelaki lain bernama C dan tetap menganggap A sebagai teman dekatnya. Kemudian, C ternyata menyatakan hubungan secara resmi dengan seorang gadis lain bernama D. Pastilah, si gadis B sangat patah hati. Kemudian, lelaki si A datang dan terus menemani gadis B itu. Seakan tak cukup sampai disitu, hubungan antara lelaki C dan gadis D berakhir singkat. Mereka tidak lagi berhubungan resmi, namun sebagai teman dekat. Kalau menurut kacamata saya, lebih seperti hubungan komensalisme. Lelaki C yang selalu memberi manfaat kepada gadis D, sedangkan gadis D tidak memberi dampak apapun pada lelaki C. Lucunya, lelaki C mengatakan bahwa itu ia lakukan atas dasar rasa suka. Cerita yang sangat klise, bukan?


sumber: weheartit


Saya tidak habis pikir dengan orang-orang semacam A, B, dan C itu. Gadis D bisa dibilang tidak masuk hitungan. Karena gadis D lah yang pintar dalam memanfaatkan keadaan. Hhmm.. bisa dibilang, kalau gadis D menggunakan rasa suka lelaki C untuk kepentingannya sendiri. Itu menurutku.

Entah saya yang kurang tahu tentang cinta atau memang mereka yang terlalu dibutakan dengan perasaan dan tidak bisa mengontrol diri mereka.
Apa yang menjadikan lelaki A selalu setia menemani gadis B meski sebenarnya (aku rasa) lelaki A (pasti) sangat patah hati setiap kali B bercerita mengenai lelaki C dengannya?
Apa yang membuat gadis B begitu mudah bercerita dengan lelaki A tentang si C, padahal dia dengan sangat jelas mengetahui kalau lelaki A juga memendam perasaan padanya?
Apa yang membuat lelaki C lebih memilih gadis D daripada gadis C yang sudah nyatanya, bisa dengan mudah ditebak, kalau gadis C lebih tulus daripada gadis D?

Jujur saja, saya tidak paham dengan sistem ini. Saya pernah berada di posisi lelaki A dan  juga pernah berada dalam posisi gadis B. Sehingga saya sangat tahu apa yang mereka rasakan. Ketika melihat mereka, apa yang mereka lakukan, dan itu membuat saya merasa keheranan.

Pada dasarnya, saya merasa kasihan dengan lelaki A. Dia begitu menyukai gadis B dengan setulus hati. Tetapi gadis B, yang sebenarnya tahu hal itu, justru mengabaikannya dan meminta mereka untuk tetap berteman seperti sedia kala. Kemudian bercerita tentang lelaki C kepada lelaki A. Kalau saya menjadi A, mungkin saya akan sedikit memberi jarak antara saya dan gadis B. Sebab, bukanlah hal yang mudah untuk mendengarkan orang yang kita sukai bercerita tentang orang yang ia sukai. Itu akan sangat menyakitkan hati. Saya bukanlah tipe orang yang akan menyakiti diri sendiri. Kalaupun saya sedikit menjaga jarak dari gadis B, tentunya gadis B itu bisa mengerti.

Sedangkan kalau saya berada di posisi sebagai gadis B, saya akan menjauhi lelaki C. Itu sudah pasti. Kemudian, saya juga akan menjaga jarak dengan lelaki A. Karena kalau kembali dekat dengan A atas nama "teman", saya sangsi jika A masih tetap memendam perasaan dan penolakan dari saya itu akan menyakiti hatinya lagi.

***

Melihat apa yang terjadi dengan teman-teman saya itu, saya terheran-heran dan merasa geli. Betapa mereka sudah bisa belajar mengorbankan diri demi orang lain di usia yang terbilang masih sangat muda untuk mengenal apa cinta itu sendiri. Saya sendiri bingung. Cukup sulit membedakan antara mencintai dengan tulus dengan dibodohi oleh cinta. Cinta dengan tulus itu memang memerlukan pengorbanan. Namun kita juga harus menjaga hati kita sendiri. Jangan terlalu melukai diri sendiri untuk memberikan kebahagiaan pada orang yang dia pun belum tentu peduli dengan kita. Tapi balik lagi, bukan pengorbanan namanya kalau tidak melukai diri sendiri.

Cinta memang begitu. Sering sekali membuat para pecandunya lupa diri bahkan rela melakukan apapun. Semua hal yang dilakukan oleh orang yang kita sukai, itulah yang benar dan baik. Tidak pernah cacat. Seakan sejauh mata memandang, hanya dia dan dia yang memenuhi penglihatan mata dan hati. Padahal kita seharusnya punya kuasa atas diri kita sendiri. Karena, kalau sampai saatnya kita memasuki fase patah hati, di saat itulah baru kita menyadari betapa bodoh dan dungunya kita dulu. Kalau sudah begitu, saya akan memandangnya di sisi yang positif. Setidaknya, saya belajar suatu hal dari ini. Begitu pikir saya.

Itulah mengapa, sekarang saya tidak ingin lagi terlalu larut dengan yang namanya jatuh hati. Saya belajar untuk bisa mengontrol diri dan memiliki kuasa atas akal dan pikiran saya dalam menyukai seseorang. Kalau kata guru biologi saya, "Jangan berikan seluruh hatimu untuk seseorang. Karena kalau kamu berikan semuanya, ketika suatu hari hati itu jatuh, maka ia akan pecah berkeping-keping. Benar-benar berkeping-keping." Saya pernah merasakan itu. Cukup bodoh bagi saya, jika mengulangi hal itu untuk kedua kalinya.

“Tonight I realized you weren’t the one
who wrecked me, ruined me, or
destroyed me, it was me, it was me
because only I have that power to do
that to myself. I destroyed myself by
loving you”
– unknown (via Ixwseptember)


Selain itu, saya juga belajar dari hubungan teman-teman saya itu. Bahwa kita harus bisa membedakan dengan benar, siapa orang yang sungguh-sungguh tulus dengan yang hanya memanfaatkan. Sebab kalau sampai kita salah mengambil keputusan, maka akan ada yang patah hati. Itu sudah jelas. Lebih parah lagi, kalau kita kehilangan orang yang tulus untuk selamanya.

Mungkin, cukup sampai di sini saja ngalor-ngidulnya. Malam ini saya hanya ingin sedikit bercerita. Saya merasa kalau apa yang kita lakukan untuk orang yang kita cintai, yang kita sebut sebagai 'pengorbanan' itu, harus benar-benar kita pertimbangkan. Bisa saja itu bukan yang sesungguhnya kita inginkan. Bukan yang kita harapkan. Kalau memang tidak sanggup untuk berkorban, lebih baik menjaga jarak saja. Itu bukanlah hal yang salah. Tidak ada yang salah dari seseorang yang ingin mencoba untuk mengobati lukanya sendiri. Akan tetapi, kalau memang yakin bahwa apa yang sedang kamu rasakan itu ketulusan, cobalah untuk berkorban. Tapi jangan mengharapkan apa-apa. Sebab, tidak ada yang bisa memastikan hasil dari sebuah pengorbanan itu sendiri. Mungkin, kamu memang benar mencintainya, tapi bisa juga itu sebagai bentuk kebodohanmu terhadap perasaan yang tidak bisa kamu kuasai.


****

sumber: weheartit

Media Sosial

Kamis, 02 Februari 2017


* Follow me on Instagram:
    @nrratikaa
* Add me via Line:
   @nuratika012
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS