Review Buku: Genduk Oleh Sundari Mardjuki

Jumat, 26 Mei 2017




Jujur saja, sebelumnya saya salah sangka dengan buku ini. Semula, saya mengira bahwa Genduk merupakan kisah seorang anak desa yang seluruh kehidupannya begitu erat dengan tembakau, bahan utama pembuatan rokok. Cerita yang memusatkan konfliknya hanya pada tembakau dan mengungkap kehidupan lokal seorang petani tembakau. Namun, ternyata Genduk menawarkan harga yang lebih dari itu.

Genduk merupakan nama seorang bocah perempuan yang tinggal di puncak Gunung Sindoro, Temanggung. Berlatar waktu tahun 1970-an, Genduk membawa kita pada masa di mana tembakau menjadi ladang emas bagi kehidupan petani di sana. Sedikit saja dedaunan itu layu atau terserang hama, maka keresahan segera menyelimuti para petani. Tidak terkecuali dengan Ibu Genduk. Yung, begitu panggilan Genduk kepada Ibunya. Di Desa Ringinsari, ia hanya tinggal bersama Yung. Sejak kecil ia tidak pernah bertemu Pak’e-nya. Jangankan bertemu, tahu wajahnyapun tidak. Meskipun begitu, ia tetap sabar membendung kerinduan di lubuk hatinya. Perjuangan Yung yang begitu keras untuk menghidupi mereka berdua, membuat Genduk selalu bertahan untuk tidak menanyakan keberadaan Pak’e. Genduk tahu, itu hanya akan membuat Yung terluka. Segala hal tentang Pak’e dan sejarah Yung-nya hanya ia ketahui dari Kaji Bawon.

Cerita berlanjut ketika Genduk sudah tidak mampu lagi menyimpan kerinduan yang bergejolak. Rasa keingintahuan yang amat besar terhadap kepergian Pak’e membuatnya memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Di samping itu, kesusahan-kesusahan yang ia dan Yung-nya alami semakin menjerat leher mereka. Harga tembakau yang anjlok, kegagalan panen, ditipu para Gaok, hingga terhutang pada rentenir.

“Manusia bisa mati dengan berbagai cara. Bisa dimakan babi hutan. Bisa dimakan rentenir."
-          Hal. 88

Genduk menunjukkan kita sebuah usaha dalam mencari kebenaran. Meniti kerinduan dengan berderai-derai air mata, meski berujung pada akhir yang begitu menusuk hati. Keluguan yang diperdaya demi mendapatkan secuil harapan. Serta kepercayaan yang tiada henti menempa diri, hingga membuahkan hasil sesuai dengan apa yang diharapkan.

Sebelumnya, di kepala saya, buku-buku motivasi semacam ini merupakan jenis buku yang sangat membosankan. Kaku, datar, dan mudah ditebak. Beruntung hal-hal seperti itu tidak saya temukan pada Genduk. Alurnya yang sudah menarik sejak awal, ditambah dengan penuturan yang apik dan manis membuat saya sangat menikmati dan melahap lembar demi lembar halamannya. Termasuk pula dengan puisi-puisi yang kian menambah keindahan dari sastra ini.



Aku Kembang Lonte Sore
Aku kembang lonte sore
Aku bukanlah seroja yang acap dipuja
Pun bukan mawar yang mekar di bawah denyar 
Aku hanyalah kembang lonte sore 
Yang terserak di bawah pohon pare 
Aku berkarib dengan rumput teki 
Dialah tempat curahan gulana hati 
Bersamanya kami melewati hari 
Tetap tersenyum meski hidup tak seindah mimpi

Aku mekar di antara belukar 
Menawarkan harum yang samar 
Sudikah engkau datang 
Sekadar menyapa tentu bukan pantang 
-          Hal. 85

Hal lain yang membuat saya semakin kagum terhadap buku ini adalah, ternyata Genduk ditulis selama kurang lebih empat tahun. Bayangkan! Empat tahun. Setelah melalui riset yang panjang dan tentunya, inspirasi dari beberapa orang di sekitar penulis. Genduk juga memberikan kepada kita, gambaran yang amat jelas mengenai kehidupan seorang petani tembakau. Apa yang mereka lakukan, kendala yang mereka hadapi, kesederhanaan, dan kegundahan yang merayap di hati mereka. Contoh nyata dari ketergantungan petani terhadap apa yang mereka tanam. Dan bagaimana benih-benih muda yang tumbuh turut menumbuhkan harapan hidup mereka.

Sekali lagi, Genduk adalah sastra yang sederhana namun sarat makna. Kita akan dibuat sendu dengan Genduk yang begitu menyedihkan. Sekaligus pula, larut dalam pengutaraan bahasa yang mengagumkan.

Genduk, adalah seorang anak perempuan yang tinggal di Desa Ringinsari, lereng Gunung Sindoro. Bocah perempuan sederhana namun penuh kekayaan hati.

“Sungguh manusia itu seperti debu tegalan, yang mudah diterbangkan oleh tiupan angin musim kemarau. Mudah diombang-ambingkan oleh lembaran duit, kilaunya emas perhiasan, juga hektaran tanah. Begitu semua hilang dari genggaman, hidup seperti tidak ada gunanya. Susahnya hidup di dunia ini cuma sementara, jangan sampai membuat putus asa. 
Kalau tidak ingat dan pegangan kuat sama tali Gusti Allah, manusia benar-benar seperti debu.” 
-          Hal. 160

Review Buku: Le Petit Prince (The Little Prince) - Antoine De Saint-Exupery

Minggu, 21 Mei 2017



The Little Prince bercerita tentang tokoh "Aku" yang bertemu dengan Si Pangeran Cilik di tengah Gurun Sahara. Ketika itu, tokoh "Aku" terhenti perjalanannya dikarenakan pesawatnya mengalami kemogokkan. Kemudian, secara tiba-tiba, entah datang dari mana, Pangeran Cilik datang dan memintanya untuk menggambarkan seekor domba. Dari kalimat yang diucapkan Pangeran Cilik sedikit demi sedikit, tokoh "Aku" akhirnya dapat menguak rahasia dari mana anak itu berasal.

Pangeran Cilik tinggal di planet nun jauh. Tempatnya begitu kecil dengan sebuah bunga mawar berpenungkup, benih-benih pohon baobab, dua gunung aktif, dan satu gunung mati yang semua itupun hanya setinggi lututnya.

Selama memperbaiki bagian pesawatnya yang rusak, tokoh "Aku" terus mendengarkan cerita perjalanan Pangeran Cilik hingga sampai ke bumi. Ia berkunjung ke sebuah asteroid yang didiami oleh seorang raja. Ya, hanya seorang raja. Tanpa ratu, menteri, maupun rakyat. Planet kedua yang didatanginya didiami oleh seorang sombong. Ia amat tinggi hati sampai-sampai ia berpikir bahwa semua orang mengagumi dirinya. Planet berikutnya dihuni oleh seorang pemabuk. Pemabuk itu beralasan bahwa ia minum supaya lupa rasa malu karena ia telah minum. Planet keempat ditinggali oleh seorang pengusaha. Pengusaha itu sangat sibuk. Saking sibuknya ia tidak mampu menolehkan kepalanya ketika berbicara dengan Pangeran Cilik. Ia suka menghitung bintang-bintang, yang ia anggap sebagai miliknya. Planet kelima didiami oleh seorang penyulut lentera. Planetnya berputar sekali dalam satu menit, maka si penyulut lentera pun tidak dapat beristirahat. Ia harus menyalakan dan mematikan lentera sekali setiap menit. Planet selanjutnya dihuni oleh seorang ahli bumi. Ia adalah seorang lelaki tua yang duduk sambil membaca buku maha tebal. Ahli bumi itu sangat senang karena didatangi oleh seorang penjelajah, seperti Pangeran Cilik. Ia juga menyarankan agar Pangeran Cilik pergi ke bumi. Hingga akhirnya sampailah ia di gurun itu sekarang.

Sering berjalannya waktu, tokoh "Aku" dan Pangeran Cilik menjadi teman. Mereka menyusuri dan mencari sumur di Padang Sahara. Banyak hal yang dipelajari "Aku" dari Pangeran Cilik. Tentang kesombongan, bersyukur, dan persahabatan.

Sampai suatu ketika, saat tokoh "Aku" terbangun dari tidurnya. Pesawatnya sudah selesai ia perbaiki dan ia berencana untuk pulang bersama Pangeran Cilik. Ia tidak mendapati keberadaan Pangeran Cilik lagi. Pangeran Cilik telah pulang ke planetnya, satu di antara berjuta bintang-bintang.

"Inilah rasasiaku. Sangat sederhana: hanya lewat hati kita melihat dengan baik. Yang terpenting tidak tampak di mata."
- Hal. 88 
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS