Gadis itu menatap lembut awan dan desiran angin yang menggoyangkan dedaunan pohon di hadapannya. Begitu menyenangkan. Dari balik jendela, ia duduk dengan kedua tangan menopang dagu. Indah sekali di luar sana. Andai saja, aku bisa bebas melangkah di rerumputan yang tinggi dan menikmati dinginnya embun pagi hari ini, pikirnya.
Tanpa ia
sadari, seseorang memasuki kamarnya. Seorang lelaki seumuran dengannya. Ia
selalu memakai baju putih berkancing dan membawakan senampan makanan berisi nasi–di
lain waktu berupa bubur atau sup, lauk-pauk, buah, dan segelas air mineral.
“Masih
menatap langit?” tanyanya.
Gadis itu
berbalik ke arahnya, “Bukan. Aku sedang mencari hujan.”
Tanpa
menghilangkan senyumannya lelaki itu menaikkan salah satu alisnya, “Lalu, kalau
tidak ada hujan hari ini bagaimana?”
“Aku akan
tetap menunggu di sini.”
“Begitukah?”
lelaki itu memiringkan sedikit kepalanya, “Apa kau tidak mau keluar menikmati
hangat mentari hari ini? Kalau kau mau, aku bisa menemanimu. Tapi, sebelum itu
habiskan dulu sarapanmu.”
“Tidak.
Aku tidak akan makan, sebelum hujan turun hari ini.”
“Wah,
sayang sekali. Padahal hari ini sepertinya tidak akan ada hujan. Itu berarti
kau tidak akan makan seharian.” ucap lelaki itu yang kini telah duduk di kursi
yang berada tak jauh dari tempat si gadis.
“Kalau
memang begitu, biarlah.”
Lelaki
itu terdiam. Ia sedang memikirkan kata apa lagi yang harus diucapkannya agar
gadis di hadapannya ini menyuapkan sedikit nasi ke mulutnya. Sudah dua hari
gadis ini hanya duduk di depan jendela. Hanya mau minum itupun kalau dipaksa.
“Siapa
namamu?” tanya lelaki itu kemudian.
“Elina.”
Sambil
berdehem lelaki itu memicingkan kedua matanya.
“Namaku
Adera.”
“Aku
tidak bertanya.” balas si gadis terus menatap jendela.
“Baiklah,
Elina. Aku akan membiarkanmu duduk di sini dan menikmati apa yang sedang kau
tunggu. Tapi jika kau berubah pikiran, panggilah aku. Aku akan mengantarkan
makanan lagi siang nanti.” Jelas lelaki itu akhirnya setelah hampir lima menit
mereka terdiam, “Dokter akan memeriksamu jam 3 sore nanti. Sebelum kunjungan
itu, kuingatkan agar kau menghabiskan makanmu. Sebab, jika tidak mereka akan
membawa perawat lain untuk memaksamu makan.”
“Aku
mengerti.”
***
Lelaki
itu memandang beberapa lembar kertas di tangannya. Pikiran jauh melayang pada
seorang gadis yang tadi pagi ditemuinya. Elina.
Gadis itu
sudah hampir satu bulan tinggal di tempat rehabilitasi di mana ia bekerja saat
ini. Dirinya sendiripun hampir dibuat tak percaya saat melihat gadis yang
begitu manis dan anggun seperti dia terikat di ranjang atau duduk dengan
tatapan kosong menghadap jendela. Di lubuk hatinya yang terdalam, ia ingin
menolong gadis itu. ‘Gadis itu gila. Jangan dengarkan apa yang diucapkannya.
Calon suaminya tewas dalam kecelakaan yang mereka alami tepat dua hari sebelum
pernikahan mereka. Tragis sekali. Akupun sering kasihan melihatnya. Seharusnya,
dia bisa melewati masa sulit itu dan tidak terjebak di tempat ini’ ucap kawan
lelaki itu suatu kali padanya.
Tiba-tiba
telepon di ruangannya berdering. Ia segera membuyarkan lamunannya dan meraih
ganggang telepon.
“Dera,
cepat ke ruangan Elina. Gadis ini mengamuk lagi!”
“Baiklah!
Aku akan ke sana.”
Perawat
bernama Dera itu, bergegas menuju ruangan si gadis. Di tangannya sudah tersedia
sekeranjang kecil suntikan, jarum, dan botol kecil berisi cairan. Ketika masuk
ruangan, sudah ada dua orang perawat lelaki yang menahan tangannya dan seorang
perawat wanita yang berusaha menenangkannya. Tanpa bertanya, Dera segera
menyiapkan suntikan dan menusukkan jarum tajam itu di kulit si gadis. Untuk
beberapa menit, napas Elina mulai melambat. Gerakan tubuhnya pun mulai melemah.
Matanya perlahan menutup seakan tidak sanggup melawan kekuatan yang
menyerangnya. Lalu, mereka kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang.
“Kita
harus mengikatnya agar dia tidak kembali memberontak seperti tadi.” Ucap salah
seorang perawat lelaki.
“Memang,
sebelumnya apa yang dia lakukan hingga mengamuk?” tanya Dera.
“Kau tahu
sejak tadi pagi dia hanya memandang jendela dan menunggu hujan. Hingga larut
begini, ia tidak juga mendapati apa yang ditunggunya. Maka diapun mengamuk.”
Jelas perawat wanita.
“Kalau
begitu, jangan ikat dia dulu. Akan kucoba besok pagi untuk membujuk dan
menenangkan pikirannya.”
Perawat
lelaki yang tadi bicara terkekeh, “Sepertinya kau mulai menyukai gadis gila
ini, ya?”
“Apa
maksudmu? Aku hanya prihatin melihat keadaannya.”
“Tak usah
bohong. Kalau gadis ini waras, akupun yakin pada diriku sendiri kalau aku akan
jatuh cinta padanya. Sayang, dia gila.”
Dera
tidak membalas perkataan temannya. Mereka kemudian keluar dari ruangan dan
mengunci pintu kamar.
Dera
kembali memasuki kamar Elina. Gadis itu sudah duduk di tempat biasanya ia
berada. Sepanjang hari hanya dihabiskannya dengan menatap jendela.
“Mengapa
kau selalu menunggu hujan?”
“Mana
makanan yang selalu kau antarkan untukku?”
“Aku
yakin selama kau tidak melihat hujan, kau tidak akan makan sedikitpun.”
Gadis itu
tersenyum pahit.
“Lalu,
mengapa kau selalu menunggu hujan?” tanya Dera lagi.
“Leon
suka sekali dengan hujan. Oleh karena itu, dia hanya akan datang saat hujan.”
“Oh ya?
Hanya karena itu?” Dera diam sejenak, “Kalau dirimu sendiri, sejujurnya apa kau
juga menyukai hujan sama seperti Leon?”
Elina
berpikir. Mulutnya ia monyongkan ke depan dan menerawang jauh, “Sebetulnya,
tidak juga. Aku sendiri biasa saja. Tapi demi bertemu dengan Leon, aku akan
terus menunggunya.”
“Begini,
Elina. Kau tahu tidak, di negara kita ada dua musim. Hujan dan panas. Nah,
sekarang ini sedang musim panas. Sebab itulah, jarang sekali hujan turun.” Dera
menghentikan ucapannya sebentar, “Kalau kau mau, aku bisa menunjukkan keindahan
musim panas padamu. Setidaknya, kau jangan hanya bergantung pada satu musim,
kan?”
Tanpa
menunggu jawaban dari Elina, Dera melanjutkan, “Kau tidak boleh menolak. Aku
akan mengajakmu ke luar. Aku tahu kau pasti sangat bosan di kamar ini.
Lagipula, aku pernah sekali-dua mendengarmu mengeluh betapa indahnya sinar
matahari pagi.”
Dera
meraih tangan Elina. Menggiringnya keluar ruangan. Ia sudah minta izin
sebelumnya kepada dokter dan perawat lainnya. Tentu, awalnya mereka tidak
setuju. Tapi setelah Dera membujuk mereka tiada henti, maka dokterpun
mengizinkan. Lebih-lebih, dokterpun merasa Elina perlu sedikit hiburan agar
mengurangi tekanan yang dideritanya.
“Kemana
kita akan pergi?”
“Kita
akan piknik di taman.”
***
Dera
memandang foto-foto di tangannya tanpa henti. Sesekali ia tersenyum, lalu
menghela napas. Hari itu menjadi hari yang sangat menyenangkan baginya. Entah
bagi Elina. Mereka makan di tengah taman yang hangat. Untungnya, Elina mau memakan
sandwich dan roti panggang yang sudah ia siapkan dengan lahap. Untuk pertama
kalinya, Dera melihat senyum gadis itu kembali merekah. Elina semakin terlihat
manis di bawah banjuran sinar matahari di musim panas. Mereka duduk, berfoto,
dan Dera membacakan sebuah cerita untuk Elina hingga gadis itupun tertidur
beberapa saat. Seakan hari itu Elina telah menjadi gadis yang sangat berbeda
dan sehat.
“Terima
kasih untuk caramu mengatasi masalahnya.” Dokter menjabat tangannya penuh
sukacita, “Kalau kau melakukan ini dengan rutin, aku yakin Elina akan segera
membaik. Oh ya, apa yang kamu katakan padanya ketika kalian berada di taman
tadi?”
“Sebagian
hanya omong kosong saja. Aku menceritakan dongeng padanya. Selain itu aku juga
berkata, kau boleh saja menunggu hujan. Tapi, setidaknya kau bisa melakukan
sesuatu sembari menunggu hujan itu datang. Maka, kuajaklah dia bermain dan
piknik di taman.”
Setelahnya, keadaan Elina berangsur-angsur
membaik. Ia memang masih duduk menunggu hujan datang, tapi tak lagi
meraung-raung atau menahan lapar sampai ia melihat hujan. Ia bahkan sering
berkeliling taman dengan Dera sambil bercerita banyak hal. Musim panas yang
dilaluinya tidak lagi kering seperti sebelumnya. Dua bulan yang akan datang,
dokter sudah bisa memastikan bahwa Elina bisa pulang dan dirawat di rumah.
Betul-betul suatu keajaiban.
***
Seminggu
sebelum kepulangan Elina dari rumah sakit, hujan turun begitu derasnya.
Rintik-rintiknya bergemuruh di atas atap. Petir dan kilat menyambar-nyambar
silih berganti. Pemanasan global memang mengubah segala sesatu di permukaan
bumi ini. Sampai-sampai musimpun dapat berganti-ganti sesuka hati mereka.
Elina
tengah menulis sesuatu di meja kamarnya–bahkan saking pesatnya perkembangan
kesehatannya, dokter mengizinkan beberapa barang untuk ia pakai. Setelah
selesai menulis, dilipatnya kertas itu kemudian diletakkan di atas meja. Dengan
penuh kehati-hatian, ia berjalan ke luar kamar. Ia menghamburkan diri dan
membiarkan tubuhnya diguyur hujan penuh dentuman.
Dengan
riang, ia berjalan menuju taman yang gelap.
“Leon,
aku datang.”
***
Paginya,
semua orang di rumah sakit dibuat terperanjat setengah mati. Bahkan,
kecoa-kecoa dan tikus-tikus rumah sakitpun melongo dengan apa yang mereka lihat
saat itu. Elina ditemukan tergeletak tak berdaya di ujung taman dekat pintu
gerbang. Dari tubuhnya menguar bau hujan. Bajunya basah dan kotor dengan
bekas-bekas tanah lembab. Di pergelangan tangannya, tergores lubang begitu
dalam. Darahnya mengalir kemana-mana, seolah menjadi kubangan tempat ia berbaring
dan menunggu. Wajahnya begitu putih dan dingin. Namun ia tersenyum begitu
bahagia.
Terima kasih untuk musim panasnya. Kau
mengenalkanku pada musim panas yang indah dan hangat. Aku tidak akan melupakan
itu. Tetapi, bagaimanapun hujan akhirnya datang juga. Leon menjemputku dan aku
akan tinggal bersama dengannya. Selamanya.
-Elina
Dera
memandang kertas itu dengan tatapan nanar. Jari-jari tangannya amat ringkih
menggenggamnya. Bagaimana bisa begini? Kukira, aku sudah bisa menyembuhkanmu.
Membuatmu merasa lebih baik. Namun ternyata aku salah. Kau tidak akan pernah
benar-benar sembuh, pikirnya.
****