Jujur saja,
sebelumnya saya salah sangka dengan buku ini. Semula, saya mengira bahwa Genduk
merupakan kisah seorang anak desa yang seluruh kehidupannya begitu erat dengan
tembakau, bahan utama pembuatan rokok. Cerita yang memusatkan konfliknya hanya
pada tembakau dan mengungkap kehidupan lokal seorang petani tembakau. Namun,
ternyata Genduk menawarkan harga yang lebih dari itu.
Genduk
merupakan nama seorang bocah perempuan yang tinggal di puncak Gunung Sindoro, Temanggung.
Berlatar waktu tahun 1970-an, Genduk membawa kita pada masa di mana tembakau
menjadi ladang emas bagi kehidupan petani di sana. Sedikit saja dedaunan itu
layu atau terserang hama, maka keresahan segera menyelimuti para petani. Tidak
terkecuali dengan Ibu Genduk. Yung, begitu panggilan Genduk kepada Ibunya. Di
Desa Ringinsari, ia hanya tinggal bersama Yung. Sejak kecil ia tidak pernah
bertemu Pak’e-nya. Jangankan bertemu, tahu wajahnyapun tidak. Meskipun begitu,
ia tetap sabar membendung kerinduan di lubuk hatinya. Perjuangan Yung yang
begitu keras untuk menghidupi mereka berdua, membuat Genduk selalu bertahan
untuk tidak menanyakan keberadaan Pak’e. Genduk tahu, itu hanya akan membuat
Yung terluka. Segala hal tentang Pak’e dan sejarah Yung-nya hanya ia ketahui
dari Kaji Bawon.
Cerita
berlanjut ketika Genduk sudah tidak mampu lagi menyimpan kerinduan yang
bergejolak. Rasa keingintahuan yang amat besar terhadap kepergian Pak’e
membuatnya memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Di samping itu, kesusahan-kesusahan
yang ia dan Yung-nya alami semakin menjerat leher mereka. Harga tembakau yang
anjlok, kegagalan panen, ditipu para Gaok,
hingga terhutang pada rentenir.
“Manusia bisa mati dengan berbagai cara. Bisa dimakan babi hutan. Bisa dimakan rentenir."
- Hal. 88
Genduk menunjukkan kita sebuah usaha dalam mencari
kebenaran. Meniti kerinduan dengan berderai-derai air mata, meski berujung pada
akhir yang begitu menusuk hati. Keluguan yang diperdaya demi mendapatkan secuil
harapan. Serta kepercayaan yang tiada henti menempa diri, hingga membuahkan
hasil sesuai dengan apa yang diharapkan.
Sebelumnya, di kepala saya, buku-buku motivasi semacam
ini merupakan jenis buku yang sangat membosankan. Kaku, datar, dan mudah
ditebak. Beruntung hal-hal seperti itu tidak saya temukan pada Genduk. Alurnya
yang sudah menarik sejak awal, ditambah dengan penuturan yang apik dan manis membuat
saya sangat menikmati dan melahap lembar demi lembar halamannya. Termasuk pula
dengan puisi-puisi yang kian menambah keindahan dari sastra ini.
Aku Kembang Lonte Sore
Aku kembang lonte sore
Aku bukanlah seroja yang acap dipuja
Pun bukan mawar yang mekar di bawah denyar
Aku hanyalah kembang lonte sore
Yang terserak di bawah pohon pare
Aku berkarib dengan rumput teki
Dialah tempat curahan gulana hati
Bersamanya kami melewati hari
Tetap tersenyum meski hidup tak seindah mimpi
Aku mekar di antara belukar
Menawarkan harum yang samar
Sudikah engkau datang
Sekadar menyapa tentu bukan pantang
- Hal. 85
Hal lain yang membuat saya semakin kagum terhadap buku
ini adalah, ternyata Genduk ditulis selama kurang lebih empat tahun. Bayangkan!
Empat tahun. Setelah melalui riset yang panjang dan tentunya, inspirasi dari
beberapa orang di sekitar penulis. Genduk juga memberikan kepada kita, gambaran
yang amat jelas mengenai kehidupan seorang petani tembakau. Apa yang mereka
lakukan, kendala yang mereka hadapi, kesederhanaan, dan kegundahan yang merayap
di hati mereka. Contoh nyata dari ketergantungan petani terhadap apa yang
mereka tanam. Dan bagaimana benih-benih muda yang tumbuh turut menumbuhkan
harapan hidup mereka.
Sekali lagi, Genduk adalah sastra yang sederhana namun
sarat makna. Kita akan dibuat sendu dengan Genduk yang begitu menyedihkan. Sekaligus
pula, larut dalam pengutaraan bahasa yang mengagumkan.
Genduk, adalah seorang anak perempuan yang tinggal di
Desa Ringinsari, lereng Gunung Sindoro. Bocah perempuan sederhana namun penuh
kekayaan hati.
“Sungguh manusia itu seperti debu tegalan, yang mudah diterbangkan oleh tiupan angin musim kemarau. Mudah diombang-ambingkan oleh lembaran duit, kilaunya emas perhiasan, juga hektaran tanah. Begitu semua hilang dari genggaman, hidup seperti tidak ada gunanya. Susahnya hidup di dunia ini cuma sementara, jangan sampai membuat putus asa.
Kalau tidak ingat dan pegangan kuat sama tali Gusti Allah, manusia benar-benar seperti debu.”
- Hal. 160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar