The
Seven Good Years adalah buku pertama yang selesai saya baca di awal tahun ini. Sekaligus
juga menjadi buku memoar pertama yang saya baca. Buku inilah yang membentuk
kesan pertama saya terhadap karya seorang penulis Israel, bernama Etgar Keret. Secara
pribadi, saya belum pernah membaca karya-karya Etgar Keret. Melalui review seorang penulis favorit sayalah,
akhirnya saya memutuskan untuk membeli dan membaca salah satu karyanya. Karya yang
dikatakan oleh penulis idola saya, sebagai karya terbaik Etgar Keret.
Sesuai
dengan judulnya, memoar ini terbagi atas tujuh bagian yang menggambarkan tujuh
tahun terbaiknya. Mulai dari cerita mengenai kelahiran anak pertamanya, Lev,
sampai kisah tentang Ayahnya yang meninggal dunia. Karena ini adalah karya
pertama yang saya baca dari seorang penulis Israel–yang kita tahu bahwa negara
itu merupakan daerah konflik yang kapan saja bisa terjadi serangan bom–setidaknya,
buku ini bisa memberikan gambaran yang nyata kepada saya bagaimana situasi
sebuah daerah yang sedang berperang. Sangat nyata.
Meskipun
dilatarbelakangi oleh peperangan, tidak semua ceritanya melulu tentang
penderitaan dan kesedihan. Sebaliknya, Etgar justru membungkus kenangannya
begitu rapi dengan jenaka dan humanis. Ya, saya bisa tertawa tiba-tiba
dibuatnya. Terkadang juga sekaligus merasa terharu, kasihan, atau menggurat
senyum pahit sembari terus membaca.
Aku berpikir sejenak sebelum menjawab. “Lihat,” kataku sambil
membelai pipinya, “dunia yang kita tinggali kadang bisa menjadi sangat keras. Dan,
ini akan adil untuk setiap orang yang lahir mendapatkan setidaknya satu orang
yang selalu akan ada di sana untuk melindunginya.”
-
Hal. 175
Setiap bagian dari buku ini,
memiliki kenangannya tersendiri. Begitupula bagi saya. Satu hal yang harus saya
ingat ketika ingin membaca tulisan Etgar adalah, saya harus memiliki tingkat
konsentrasi dan kefokusan yang tinggi, setidaknya begitu. Sebab, di hampir
setiap bagian saya memiliki kebingungan tersendiri dengan makna dan maksud yang
ingin disampaikan oleh Etgar Keret. Begini, dalam hobi membaca–entah itu novel,
cerpen, memoar, atau jenis sastra apapun–saya terbiasa dengan prinsip utama
bahwa ‘saya harus memahami maksud dan pesan yang ingin disampaikan dalam
tulisan itu’. Sehingga setiap kali saya selesai membaca, maka dalam pikiran
sayapun akan muncul pertanyaan, “Apa yang bisa kamu simpulkan dari cerita ini?”
Dan saya tidak mendapatkan
jawabannya dalam beberapa cerita di buku The Seven Good Years ini. Sebenarnya saya
juga sangsi, apakah memang maksud dari cerita yang sulit saya pahami, apakah
kalimat terjemahannya yang kurang saya resapi, apakah tulisan dari Etgar Keret
sendiri yang (jujur saja, saya merasa) agak berbelit, atau memang pemikiran
saya yang masih sangat dangkal dan sempit sehingga tidak begitu paham dengan
makna yang disampaikan oleh si penulis? Hhmm.. saya lebih memilih asumsi yang
terakhir. Haha.
Kendati demikian, saya masih
bisa menemukan bagian lain yang begitu saya pahami. Ketika saya dapat menangkap
apa yang ingin diungkapkan Etgar, saya merasa begitu mengenalnya. Mungkin ini
terbaca sedikit aneh, tapi memang seperti itu nyatanya. Saya baru mengetahui tentang
seorang keturunan Yahudi yang amat berpihak kepada perdamaian di negara
berpendudukan Muslim dan dunia. Bahkan, ia pun pernah disambut baik dalam acara
kepenulisan (mungkin, itu acara kepenulisan) yang dihadiri oleh Gubernur dan
perwakilan keluarga kerajaan di Istana Bali.
Aku adalah penulis Israel pertama
yang pernah datang ke Bali. Aku bahkan mungkin menjadi orang Israel pertama
atau bahkan orang Yahudi pertama yang pernah dilihat oleh hadirin di sini. Apa yang
mereka lihat ketika melihatku? Mungkin seekor kadal, dan dari senyuman yang
mulai memancar di wajah-wajah mereka, kadal ini jauh lebih kecil dan lebih
ramah daripada yang mereka bayangkan.
-
Hal. 32
Saya kira, itulah yang bisa
saya sampaikan setelah membaca buku ini. Kisah dan kenangan yang penuh
kelucuan, keharuan, dan makna yang mendalam. Ketika membacanya, kita tidak
hanya akan terbius oleh kekhasan dari bahasa dan latar hidupnya, melainkan juga
menikmati ketersesatan kita dalam setiap bagiannya.
“Saya peringatkan Anda
sebelumnya,” katanya dengan senyuman, “ini sangat tidak nyaman. Tetapi, ini
akan membuat Anda keluar dari sini, dan Anda akan mempunyai cerita yang bagus
untuk ditulis.” Dan dia benar.
-
Hal. 128
Tidak ada komentar:
Posting Komentar