Gadis
itu berbaring telungkup dengan sebuah guling sebagai sandaran sikunya. Matanya
terus menyorot layar bercahaya dari ponsel yang ada di tangannya. Sesekali ia
menggunakan ibu jari atau telunjuk untuk menggeser layar ponsel naik dan turun.
Hingga tidak terasa sudah berapa kali jarum jam berputar menyedot waktu.
Tiba-tiba
saja, matanya membelalak. Mulutnya menganga luas bak gunung yang ingin
memuntahkan lahar. Ia mengepalkan salah satu tangannya lalu dengan suara yang
tertahankan, ia berteriak. Sekali lagi ia tatap layar ponselnya yang terus
bercahaya itu. Entah apa yang dilihatnya, namun setelah itu ia terus tersenyum
sepanjang hari.
***
“Kamu
tahu? Dia menghubungiku lagi.” Ucap gadis itu pada temannya lewat sambungan
telepon.
“Benarkah?
Dia bilang apa?”
Gadis
itu diam. Ia hanya tersenyum, sembari mengingat lagi apa yang baru dibacanya 15
menit yang lalu.
“Astaga,
Dea! Kamu bahkan tidak mau cerita?”
“Bukannya
begitu. Dia mengucapkan selamat ulang tahun padaku.”
Kini
giliran temannya yang tercenung di seberang sana.
“Mungkin
kamu menganggapnya sepele. Tapi bagaimanapun juga, itu berarti bahwa dia masih
mengingatku. Dia masih memikirkanku.” Jelas gadis bernama Dea itu lagi. Kali
ini ia tidak dapat menyembunyikan suaranya yang begitu melengking.
“Kamu
yakin? Mungkin saja dia tidak sengaja aktif, lalu melihat notifikasi kalau
ulang tahunmu hari ini. Lagi pula, ketika seseorang mengucapkan selamat ulang
tahun padamu, bukan berarti ia masih memikirkanmu. Mungkin saja saat itu kamu
sepintas terlewat di benaknya. Tidak ada arti apa-apa.”
Mendengar
reaksi temannya, Dea mendengus kesal.
“Tidak
mungkin. Aku yakin kalau dia masih ingat padaku dan ulang tahunku.” Tegas Dea.
Ia lantas mematikan sambungan telepon secara sepihak.
***
Dea
berjalan malas menuju tempat duduknya. Hari masih sangat pagi untuk murid
datang ke sekolah. Namun, ia mengenakan seragam yang begitu rapi telah duduk di
kursi dengan tenang. Diam-diam ia mencuri pandang ke kursi yang ada di
sebelahnya. Apa anak itu akan masuk hari ini? Itu yang selalu Dea pikirkan.
Nyatanya, teman sebangkunya yang bernama Danu itu selalu masuk. Setiap hari,
kecuali di hari Minggu. Ia bahkan menjadi salah satu anak rajin dan pandai di
kelas. Kebanyakan murid menyukai dirinya, sebab ia begitu humoris dengan
candaannya–yang tak jarang justru terlihat aneh dan membosankan–namun tetap
mengundang tawa di antara kawan-kawannya. Sayang, itu tidak berlaku pada Dea.
Ketika
guru menyuruhnya untuk duduk sebangku dengan Danu, itulah saat di mana Dea
begitu merasa terhukum. Ia benar-benar terganggu dengan watak Danu yang sering
bicara–meskipun pada mulanya Danu adalah anak yang pendiam–ditambah dengan
sikap kritisnya yang suka mengomentari apa saja yang dilihatnya. Hal itu kerap
membuat Dea tak betah berlama-lama duduk di sampingnya.
Walaupun
begitu, seakan tidak peduli dengan perilaku Dea terhadapnya. Danu tetap
menyapanya ramah ketika bertemu. Walau kadang ia ragu untuk mengajak Dea
bercanda, ia tetap meluapkan lelucon-leluconnya meski akhirnya akan selalu
sama: tampang sinis Dea menatap Danu seolah berkata ‘Apanya yang lucu? Dasar
aneh!’.
Tetapi,
bagaimanapun dalamnya palung pasti ada dasarnya juga. Begitu pula dengan
kesabaran Danu. Kadang kala pabila kering hatinya, ia tidak akan mengganggu
Dea. Ia akan mendiamkannya seolah mengungkapkan, ‘Beginilah yang kamu mau,
bukan?’. Kalau sudah begitu, Dea sendiri yang akan merasa bersalah dan risih.
Bagaimana tidak? Anak lelaki yang biasanya sangat lincah ini tiba-tiba jadi
beku serupa patung. Maka, Dea pun akan mencoba mengajaknya bicara. Sedikit demi
sedikit. Kemudian, mereka berteman. Lalu, Dea akan kembali kesal. Begitulah,
cerita mereka selalu terulang.
Itu
terjadi ketika mereka masih berusia sekitar 10 hingga 12 tahun. Setelah itu,
jangankan berkelahi, untuk saling menatap saja mereka tidak bisa. Tepat di usia
kedua belas tahun, mereka menempuh jalan hidupnya masing-masing. Kendati mereka
masih sempat bertukar kabar beberapa kali. Kini usia mereka sudah lima tahun
lebih tua daripada saat mereka berpisah dulu. Waktu yang terlampau lama bagi
sebuah kembang untuk mekar dan bersinar. Begitu juga dengan kumbang yang beranjak
dewasa.
***
Dea
kembali melihat layar ponselnya. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada notifikasi apapun.
Tidak ada telepon dari siapapun. Meskipun begitu, ia masih juga tak lelah
melirik ponsel itu setiap 3 menit sekali.
“Kamu beneran mau datang ke sini?” Tanya
sebuah pesan masuk di ponselnya.
“Iya. Mumpung, lagi liburan. Punya waktu dan
kesempatan rekreasi keluarga seperti ini kan
jarang sekali. Sesampainya aku di sana nanti, kita ketemuan ya. Hehe.”
“Siap,
Boss. Nanti kita ketemuan di kafe favoritku, deh. Udah lama nggak ketemu, pasti
kamu banyak berubah, ya.”
Belum sempat
Dea membalas, ada pesan masuk lagi.
“Pasti
makin cantik.”
Membaca
pesan itu, semakin mekarlah bunga-bunga di hati dan pelupuk mata Dea. Senyumnya
tak terberai barang sedetikpun. Baginya, dunia sudah nampak indah hanya dengan
menatap secara langsung wajah kawan lamanya itu.
“Atur
saja, yang penting kita bisa bertemu. Sampai ketemu nanti, Danu.”
Cuaca
sore di kota C hari itu sangat mendung. Padahal baru dua jam yang lalu Dea
mendarat di kota dengan adat dan budaya yang kental tersebut. Seakan itulah
cara alam menyambut kedatangannya yang dulu pernah menetap di tanah mereka.
Mobil dengan serbuan rintik hujan yang semakin lama semakin deras, mengantar
Dea ke rumah neneknya. Padahal, jikalau boleh berkata jujur. Ada pasal lain
yang mendorongnya untuk segera sampai dan menapakkan kaki di ranah bergelombang
itu. Yakni rasa yang menggebu di hatinya untuk kembali dan bernostalgia dengan
masa kecil. Berdamai dengan masa lalu agar hatinya tenang untuk berpisah
sejauh-jauhnya. Mengingat, kepergiannya dulu yang begitu lekas. Bahkan, tanpa
menyisakan jejak untuk para pengenangnya.
“Pa,
nanti aku berhenti di kafe A, ya. Pulangnya bareng
teman aja. Sebentar aja, kok,
ketemuannya.”
“Kamu
yakin? Nggak mau mampir dulu ke rumah? Ketemu nenek?”
“Nggak,
Pa. Sebentar aja, kok. Lagi pula,
kata temanku di dekat kafe ada toko souvenir gitu. Jadi aku mau beliin nenek
sesuatu.” Dalih Dea pada Papanya. Sudah hapal betul olehnya, tabiat sang Nenek
yang suka dengannya sebab materi yang selalu ia suguhkan. Tanpa itu, jangankan
bertemu. Menanyakan kabarnya pun neneknya tidak pernah tidak lupa.
Dea
akhirnya sampai di kafe yang telah dijanjikan Danu. Hari itu, mereka sama-sama
memakai baju merah. Kata Danu, ia sedang duduk di salah satu meja yang
menghadap air mancur. Maka, dengan hati yang penuh dentuman, Dea melangkah.
Dari kejauhan, ia dapat melihat sosok Danu. Tubuh kurusnya dengan kulit sawo
matang begitu mudah dikenali. Semakin dekat, semakin berat langkahnya untuk
berjalan. Seolah batu besar tengah diikatkan pada telapak sepatunya. Separuh
tubuhnya ingin duduk di hadapan Danu dan mengobrol sepanjang sore itu. Namun,
sebagian yang lain ingin berhenti melangkah. Kemudian berbalik lalu kabur
menuju rumah neneknya.
Tetapi,
tiba-tiba tubuhnya melayang. Kakinya tanpa sengaja menyandung sesuatu yang
lantas membuatnya terhempas ke tanah.
BRAAKK.
***
Dea
tertegun. Beberapa kali mengerjapkan matanya, kemudian memperhatikan sekitarnya.
“Dea?
Kamu dengar aku gak, sih?” suara si
Penelepon masih mengambang di ujung sambungan.
“Kenapa?
Ya, aku dengar.”
“Dari
tadi aku ngomong, kamu dengerin gak?!”
“Eh?
I.iya.”
“Dea,
jangan terlalu anggap serius pesannya itu. Sebagai teman, wajar kan, kalau dia ngucapin ulang tahun ke kamu?” terdengar si Penelepon tengah
menghela napas sejenak, “Aku paham. Mungkin, kamu merasa menyesal dengan apa
yang dulu kamu lakukan padanya. Lebih-lebih, kamu pergi tanpa pesan begitu
saja. Tapi, bukan berarti dia selalu bisa membayangimu, kan?”
Ada
hening sesaat, kemudian si Penelepon melanjutkan, “Apalagi hadapilah kenyataan.
Bahwa kamu tidak akan bisa kembali ke kota itu lagi.”
Dea
benar-benar terenyak. Ia menelan ludah begitu pahit seakan ada kerikil teramat
besar sedang menyangkut di kerongkongannya. Temannya itu sudah terlalu banyak
bicara. Lamat-lamat ia memahami kalimat yang disampaikannya.
Dengan
suara yang ia pelan-pelankan, Dea berkata, “Hendra, sudah dulu, ya. Aku ngantuk,
mau tidur.”
“Iya,
selamat tidur.” Tutup lelaki itu di ujung telepon.
Dengan
muka masam, ia melempar handphone-nya ke kasur. Begitu pula dengan tubuhnya yang
ia banting perlahan seolah-olah dengan begitu ia dapat meruntuhkan penyesalan
yang ada di pundaknya. Setengah dari tubuhnya telentang, sedang kakinya
menggantung di pinggir kasur. Tatapannya lurus menghadap langit-langit kamar
yang temaram. Beberapa saat, bayangan Danu dan siluetnya mengambang di
awang-awang. Kemudian, ia menangis.
****
Banjarmasin, 23 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar