I'm afraid

Selasa, 09 September 2014

Jantungku mulai berdetak lebih kencang.
Tiba-tiba, aku tak bisa menghirup udara lebih panjang. Hanya nafas berat dan pendek yang bisa ku hirup dan hembuskan.
Tanganku seakan bergemetar. Namun kutahan.
Istigfar selalu pelan kuucapkan. Sambil berkata dalam hati, "Oh Tuhan, bisakah jangan kau buat aku seperti ini? Aku terlalu gugup. Aku tak berani berbuat apa pun. Aku takut."

*****

Sekali lagi, ku perhatikan pintu itu. Di mana banyak orang yang sering melewatinya, namun hanya langkah kakinya yang mampu membuat jantungku memompa lebih cepat.

Dan ketika dia melewati pintu itu, badanku sekejap saja menegang dan kaku. Aku sangat takut. Bahkan untuk menelan ludah rasanya sangat sulit.

Ku lihat sejurus tatapan matanya yang tajam. Suaranya yang begitu terdengar kuat, serta wajahnya dengan kedua rahang yang tegas.

Sebelumnya aku tak pernah seperti ini - setakut ini pada seseorang. Aku selalu senang dengan kehadirannya. Tapi sejak kejadian 2 minggu yang lalu, aku bahkan tak pernah lupa. Dan rasanya, ketakutan selalu muncul di hatiku. Membuat aku terdiam beberapa saat. Dan terus mengingat kejadian itu. Terus mengingatnya. Hingga detik ini.

*****

Semuanya bermula di awal hari mengajar. Semua murid baru berkumpul. Mulai menciptakan kawanan baru dan saling mengenal. Beberapa murid memang sudah kenal, tapi kekakuan masih tetap mengelilingi kami. Maklumlah, kami baru berkumpul - sebagai siswa 1 kelas.

Awalnya, tak ada hal yang menggangguku. Aku bisa melewati hari-hari sekolah dengan baik. Sampai ketika aku kembali bertemu dengannya. Aku mengenalnya cukup baik. Dan aku senang dengan kehadirannya di dekatku. Hal ini cukup berbeda dengan murid-murid lain yang justru (menurutku) tak suka dengan kehadirannya. Hmmm.. begitulah.

Tapi, suatu ketika dia mengatakan sesuatu tentangku. Berkata sesuatu yang sangat melukai hatiku. Berbicara pada semua murid di kelas, dan itu membuat jantungku hampir berhenti berdetak.
Hanya istighfar yang bisa kuucapkan untuk menahan air mata yang sedikit lagi mulai menetes. Dan akhirnya, aku tak menangis. Kejadia itu kulewatkan dengan (berpura-pura) diam padahal aku tahu, saat itu hampir seluruh murid memicingkan matanya padaku.

*****

Sekarang, 2 minggu setelah kejadian itu. Ada perasaan takut ketika aku harus kembali berhadapan dengannya. Sedangkan dia? Berjalan melewatiku dan bertingkah seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Ya, mungkin dia tak ingat lagi dengan omongannya. Tapi aku, tak pernah lupa dengan perlakuannya itu.

Jujur, aku tak mengingat secara detil apa yang disampaikannya. Tapi otakku selalu mengulang memori itu. Membuatku tiba-tiba seakan jadi orang teraneh di lingkunganku sendiri.
Membuatku justru merasa tak pantas ada di antara mereka semua.
Aku tak paham dengan keadaan ini.

Tapi yang jelas, sesuatu yang aku ketahui, yang bodohnya baru saja aku sadari, dia tak pernah menyukaiku.

*****
"Tak bisa bersosialisasi? Calon koruptor? Apapun itu, saya terima semuanya. Karna hal itu memang benar. Tapi, bisakah Anda menyampaikannya dengan sedikit ungkapan halus? Itu terlalu menyakitkan untuk didengar. Terlalu sakit dan tajam. Membekas di kepalaku, hingga bekasnya tak akan pernah hilang. Terima kasih! Anda telah memberikan luka untuk saya. Yang akan menjadikan saya semakin lebih kuat. Terima kasih! Karena Anda, saya bisa jadi lebih baik"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS