Review Buku: The Girl On Paper oleh Guillaume Musso

Selasa, 28 Maret 2017



Saya mencintai buku ini. Sangat mencintainya.

The girl on paper bercerita mengenai seorang penulis buku Trilogie Des Anges yang sangat terkenal bernama Tom Boyd. Ia menjalin hubungan asmara dengan pianis muda nan cantik, Aurore, sebelum akhirnya lamarannya ditolak dan ia terjebak dalam obat-obatan, alkohol, hingga mengalami writer’s block. Keadaannya semakin terpuruk ketika Milo, sahabatnya, memberitahu kalau mereka telah ditipu dan kehilangan hampir dari seluruh tabungan dan kepemilikan atas rumahnya.

Suatu malam, tiba-tiba seorang gadis tanpa busana memasuki rumahnya. Ia mengaku sebagai Billie, gadis yang menjadi salah satu tokoh dalam novelnya. Sebelumnya, Milo telah memberitahu Tom bahwa buku Trilogie Des Anges Vol. 2-nya mengalami kesalahan cetak tepat di halaman 266. Ada kalimat yang terputus dan sisanya hanya berupa halaman kosong.
 
Billie menyeka matanya yang menghitam oleh lelehan maskara.“Kumohon, Jack, jangan pergi seperti ini.”Namun, pemuda itu sudah mengenakan mantelnya. Dia membuka pintu, tanpa sekali pun menatap kekasihnya.“Kumohon!” seru gadis itu, jatuh

Tentu, Tom tidak memercayai hal itu. Namun beberapa pertanyaan yang dijawab dengan sangat tepat oleh Billie, membuat sedikit keraguannya memudar. Terlebih lagi, setelah mereka melakukan kesepakatan: Billie akan membantu Tom untuk kembali bersama Aurore, dan sebagai imbalannya, Tom harus menyelesaikan buku ketiganya agar bisa memulangkan Billie ke dalam dunia fiksinya.

Mereka menempuh perjalanan yang panjang dan penuh petualangan menuju Meksiko agar Tom dapat bertemu dengan Aurore. Perjalanan yang mengantarkan mereka justru kepada pengembaraan yang lebih jauh lagi. Buku terakhir yang mengalami kesalahan cetak pun turut menjadi bagian dari masa lalu orang-orang yang sempat membacanya. Kelak, kita akan berhenti pada awal di mana cerita itu bermula. Seorang gadis kertas yang penuh dengan teka-teki dan penulis yang akhirnya menemukan cintanya kembali.

***



Buku ini memiliki ide cerita yang sangat menarik, menurut saya. Seorang gadis yang keluar dari buku. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya saya menikmati cerita dengan ide pokok semacam ini. Ruby Sparks dan Goosebumps adalah beberapa film yang juga mengangkat ide cerita yang sama. Meskipun terbilang sudah pasaran, saya rasa konsep cerita ini tetap menarik untuk dinikmati maupun dikembangkan. Saya semakin meyakini hal itu ketika menemukan buku ini.

The girl on paper ditulis dengan gaya yang modern dan bebas tanpa kehilangan sisi romantismenya. Pembaca tidak akan dibuat bosan dengan setiap rangkaian kata yang disajikannya dengan penuh keserasian dan menggelegak emosi. Persis seperti apa yang penulis katakan di halaman 290:

Sebuah buku hanya akan hidup kalau dibaca. Para pembacalah yang menyusun potongan-potongan gambar dan menciptakan dunia imajiner tempat para tokohnya hidup.- Hal. 290

Banyak hal yang saya peroleh dari novel karya Guillaume Musso ini. Meski sejujurnya, ini adalah karya pertamanya yang saya baca. Penulisannya yang ringan sangat cocok dengan genre cerita yang memang ditujukan untuk kaum muda. Saya mampu merasakan gejolak dari majas-majas yang digunakan penulis, sekaligus meresapi makna yang ingin disampaikannya. Ya, semudah itu. Penyajiannya yang menambahkan kalimat-kalimat bijak dari banyak ahli dan penulis lain juga menjadi pemanis buku ini. Tidak heran kalau saya menempelkan banyak sticky notes dalam lembaran-lembarannya.

Aku ingin kau tahu apa keberanian sejati itu,bukan dengan membayangkan seorang laki-laki dengan senjata di tangan.Keberanian sejati adalah ketika kau tahu bahwa kau kalah sebelum kau memulainya,tapi kau tetap memulainya dan tetap bertindak,apapun yang terjadi.-Harper Lee

Hal yang disayangkan dari novel ini hanya sedikit kesalahan pengetikan yang saya temui di beberapa bab-nya. Namun seperti yang saya katakan tadi, sedikit. Sehingga hal itu termaafkan dengan banyaknya kelebihan yang saya temui dari buku ini. (Seperti yang kita tahu, kita tidak boleh terfokus hanya pada satu kesalahan. Sementara di sisi lain kita bisa menemukan banyak kebaikan #curcol). Selain itu, sudut pandangnya yang berubah-ubah sedikit membuat saya bingung. Tetapi setelah menelan beberapa bab berikutnya, saya mulai bisa menyesuaikan diri dengan plot ceritanya. Selanjutnya, mudah saja bagi saya untuk masuk dan tenggelam bersama imajinasi yang saya bangun sendiri.

Terlepas dari kelemahan yang termaafkan itu, saya puas dengan novel ini. Tidak sia-sia, saya berjuang mencarinya seorang diri #curcollagi. Sama seperti sebelumnya, saya mencintai buku ini. The girl on paper tidak sekadar menunjukkan keputusasaan seorang lelaki yang patah hati pada cinta yang ia idam-idamkan. Novel ini juga melahirkan  sisi lain dari kehidupan seorang penulis dan dunia yang ia tinggali beserta orang-orang yang ada di sekitarnya. Hal penting yang saya serap dari buku ini adalah:

Membaca bukan hanya perihal tentang mengeja kata demi kata di dalam hati lalu menghubungkannya menjadi untaian kalimat. Lebih dari itu, membaca adalah tentang membangun karakter. Tenggelam di dalam imajinasi yang tidak ada batasnya. Membaca ialah segala hal tentang menghidupkan cerita dan bagaimana cara kita untuk hanyut dalam fantasi yang kita ciptakan sendiri.
-          Atika

Review Film: One Day (Thailand Movie) (2016)

Selasa, 21 Maret 2017

Assalamualaikum.

Kemarin, saya menonton film thailand yang berjudul One Day. Sebenarnya film ini sudah cukup lama tayang. Namun, karena saya baru sempat mendownloadnya kemarin, dan berbagai kesibukan lainnya. Akhirnya saya baru bisa menontonnya kemarin. Hmm, mungkin supaya bisa mendapatkan sedikit gambaran dari film ini, lebih baik kita melihat trailernya dulu. Cekidot:




Nah, sudah punya sedikit bayangan, kan, mengenai film ini?

One Day bercerita tentang seorang lelaki bernama Denchai yang menyukai teman sekantornya, Nui. Tetapi, Den hanya bisa menyembunyikan perasaannya itu sebab, penampilan dan sifatnya yang sangat tertutup. Ia berambut keriting, berkacamata, dan cukup sulit untuk bergaul. Ia seorang pegawai di bidang IT, semua orang membutuhkan dirinya. Namun tidak satupun yang bisa mengingat namanya. Hanya Nui yang bisa mengingat namanya, itulah yang akhirnya membuat Den jatuh hati pada Nui. Karakter Nui berbanding terbalik dengan Denchai. Ia seorang gadis yang ceria, murah senyum, dan selalu terbuka. Tak heran, jika ia bisa dengan mudahnya menjalin hubungan dengan Top, atasannya di kantor.

Suatu ketika, Top mengadakan liburan pergi ke Jepang untuk semua karyawannya. Sebenarnya itu bukan liburan kantor, melainkan cara Top agar bisa membawa Nui untuk mengunjungi Festival Salju di sana. Tetapi di luar dugaan, istri Top beserta anaknya juga datang menyusul. Lebih lagi setelah terdengar kabar kalau ternyata istri Top hamil lagi. Ya, Top sudah menikah. Ia berjanji pada Nui akan menceraikan istrinya dan menikahi Nui. Namun, dengan keadaan istrinya yang tengah hamil, bagaimana bisa Top menceraikannya? Saat itu, Nui benar-benar patah hati. Ia sangat bersedih. Ketika liburan kantor sudah berakhir. Ia mengambil beberapa hari lagi untuk tetap tinggal di Jepang. Denchai yang selalu memperhatikan dan mengikuti Nui pun juga tak tega meninggalkan ia seorang diri. Sehingga akhirnya Denchai juga tidak pulang ke Thailand.

Kepatahatian Nui berujung pada jatuhnya ia saat bermain ski. Sebenarnya tidak sungguh-sungguh bermain ski. Ia mengalami yang namanya TGA, Transient Global Amnesia. Lupa ingatan sementara yang menghilangkan memori jangka pendeknya. Amnesia itu hanya terjadi satu hari saja. Keesokkan harinya, Nui akan lupa dengan apa yang terjadi hari ini. Ia akan mendapatkan kembali memori jangka pendeknya. Hal itulah yang membuat Den mulai memanfaatkan situasi. Ia mengaku pada Nui kalau mereka adalah sepasang kekasih.

***

Dari film ini saya belajar untuk mencintai seseorang tak hanya sekadar memandang kepada fisiknya. Apa yang dilakukan Denchai adalah hal manusiawi yang sering kali juga dilakukan oleh orang yang sedang jatuh hati. Kita akan melakukan hal-hal yang bodoh karena cinta. Selain itu, saya juga menemukan cara pandang yang berbeda dalam melihat suatu tindakan. Misalnya seperti di saat Denchai melakukan hal-hal manis kepada Nui secara diam-diam. Di satu sisi, perbuatan itu bisa terlihat menakutkan, ia bisa saja disangka psikopat atau pengintai. Tetapi di sisi lain, bisa menjadi perbuatan yang sangat romantis. Ya, tergantung dari sisi mana kita lebih berpijak.

Apa kau pernah mendengar orang mendaki gunung Everest? Saat pendakian pria itu jatuh, dan semua orang akhirnya mati. Dan seorang pria yang berjalan di atas tali di antara menara di World Trade Center. Sebelumnya aku tak pernah bisa memahami kenapa mereka melakukan hal-hal semacam itu. Sampai ketika aku bertemu denganmu. Saat kau memintaku sebelumnya, kenapa aku menjadi berani untuk merayumu. Saat ini aku tahu jawabannya. Ketika kita mencintai sesuatu dengan sungguh-sungguh, kita tidak butuh sebuah alasan.

Cinta yang membuat kita berani untuk melakukan semua hal-hal bodoh itu.

Film ini lebih menonjolkan sisi romantisnya, berbeda dengan film thailand biasanya yang dibumbui oleh komedi. Sehingga saya dapat merasakan konfliknya lebih mendalam. One Day mengajarkan kepada saya, untuk mecintai dengan setulus hati tanpa berharap apapun. Mengerti, bahwa sering kali cinta membuat kita terluka. Tetapi, kita tidak akan pernah berhenti untuk mencintai. Jujur saja, ketika melihat trailernya, saya pun berpikir kalau Denchai bersikap tidak baik dengan berbohong dan seolah memanfaatkan keadaan Nui. Dan setelah menonton filmnya, ternyata pemikiran saya itu salah. Keduanya sama-sama bodoh dan saya pun tidak jadi berpihak kepada salah satu di antara mereka.

Kau bisa menyebut dirimu bodoh jika kau mau. Tapi apa yang aku lakukan hari ini tidak jauh berbeda. Ini seperti kita mendaki gunung Everest bersama-sama.

Review Buku: Pacar Seorang Seniman oleh W. S. Rendra

Sabtu, 11 Maret 2017



Berbeda dengan buku-buku kumpulan cerpen lain yang pernah saya baca, Pacar Seorang Seniman merupakan kumpulan cerpen yang ditulis oleh sastrawan sekaligus penyair besar, W. S. Rendra. Kumpulan cerpen ini ditulis W. S. Rendra pada era 1950-1960-an. Sehingga latar sosial, budaya, dan bahasanya disesuaikan dengan masa itu. Namun saya rasa, itu justru menjadi nilai lebih dari buku ini.

Pacar Seorang Seniman berisi 13 cerita pendek, dilengkapi juga dengan biografi singkat Sang Penulis di bagian akhirnya. Hal yang saya sukai dari buku ini adalah ilustrasi yang ada di setiap judul cerpen. Gambaran mengenai tokoh yang diceritakan dalam cerpen tersebut. Ilustrasi yang membuat para pembacanya akan lebih meresapi setiap cerita yang disajikan. Selain itu, saya juga menyukai gaya kepenulisan pujangga besar ini. Bahasanya yang arkais, membuat saya terhanyut dalam lembaran-lembarannya. Bahkan saya merasa kalau kalimat-kalimat itu justru mengantarkan pesan dengan lebih manis dan tepat. Dan itu menjadi sesuatu yang sulit kita dapatkan di zaman yang semakin modern ini. Terlebih lagi, bahasa yang kita gunakan saat ini telah dibakukan dan banyak berkembang. Jauh berbeda dengan masa W. S. Rendra.

Dari judulnya, kita sudah bisa menafsirkan isi dari buku kumcer ini. Kebanyakan ceritanya mengisahkan tentang percintaan, hasrat yang dimiliki oleh seorang anak muda, kepatahatian, diselingi juga dengan nilai kekeluargaan, musyawarah, dan persahabatan. Nilai yang sangat dijunjung pada masa itu. Mengingat jumlah cerita yang lumayan banyak, saya hanya akan menuliskan tiga sinopsis cerpen yang paling saya sukai. Berikut sinopsisnya:


Pohon Kamboja

Menggunakan sudut pandang orang kedua, Pohon Kamboja bercerita mengenai seorang lelaki tua yang suka merawat pohon kamboja di belakang rumah anaknya.  Ketika menyiram pohon itu, ia sering berbincang-bincang dengan tetangganya. Menurut kacamata tetangganya itu, si kakek sangatlah mencintai anak lelakinya yang lain bernama Herman. Sebab, Herman memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh saudara-saudaranya yang lain. Ia sangat jago berkelahi. Ia tidak bisa dikalahkan oleh siapapun. Kemampuan itu diajarkan sendiri oleh si kakek. Namun, beberapa tahun yang lalu Herman pergi dan menghilang. Pada mulanya, kakek masih memperoleh kabar mengenai anak kesayangannya itu. Tetapi, beberapa waktu kemudian kakek benar-benar kehilangan komunikasi. Itulah mengapa ia menanam pohon kamboja tersebut. Pohon kamboja selalu mengingatkannya pada Herman.

"Bunga kamboja ialah bunga yang berwatak. Ia tidak terpengaruh oleh keadaan. Ia senantiasa mempunyai keagungan. Meskipun ia biasa tumbuh di kuburan, ia tak bisa dinamakan bunga kematian. Terbukti apabila ditanam di halaman seperti ini, ia pun akan bisa memberikan keindahan yang tersendiri. Itulah namanya watak dan keagungan."
 - Hal. 103

 Ia Membelai-belai Perutnya




Seorang gadis yang tidak disebutkan namanya, telah terjerat dalam lubang kemaksiatan. Ia begitu bingung dan takut terhadap jabang bayi yang tengah dikandungnya. Narso, lelaki yang sangat ia cintai yang juga menjadi orang yang harus bertanggungjawab atas segala yang terjadi, tidaklah patut untuk dituntut kewajibannya. Ia seorang lelaki yang liar dan bengal. Kawin dengannya hanya akan melahirkan persoalan baru; nestapa dan penderitaan. Melihat masalah pelik yang dialami oleh gadis itu, kita akan tahu betapa dilemanya ia. Konsekuensi dari apa yang telah ia lakukan sendiri.

"Kemudian ia tengadah, mencari wajah Tuhannya. Ia tak berani minta ampun. Menatap saja ia dengan matanya yang basah. Tuhan tahu segalanya karena itu terserahlah semua kepada-Nya."
- Hal. 116 
Gaya Herjan

Herjan baru saja putus cinta. Pelawak itu benar-benar patah hati dengan kekasihnya yang lebih memilih seorang pilot daripada dirinya. Kepatahatian itu membuatnya mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak ikut bergabung dengan kawan-kawannya yang bertamasya. Kawan-kawannya pun memahami apa yang sedang bergejolak di dada Herjan. Sepanjang perjalanan, kawan-kawan Herjan terus saja membicarakan dirinya. Mengenai lelucon yang tidak akan ada lagi pada dirinya. Mereka bahkan memikirkan hal-hal lain yang mungkin akan dilakukan oleh Herjan. Gantung diri, minum racun tikus, dan hal lainnya semacam itu.

"Mas Herjan yang baik.Dengan surat ini saya akan menyatakan dengan perasaan yang sangat menyesal, bahwa saya tidak berani mencintai Mas lagi, sebab saya selalu merasa diri saya rendah apabila berada di dekat Mas. Pikiran saya hanya mampu untuk sampai kepada hal-hal yang ringan dan gampang, seperti tentang hal keadaan cuaca dan mesin terbang umpamanya, tetapi saya tidak mampu untuk bisa ikut menjangkau cita-cita Mas untuk menjadi seorang artis film. Meskipun akan lekas gampang dimengerti oleh orang yang normal bahwa kedudukan seorang bintang film lebih tinggi dari seorang pilot. Sebab, bukankah letak bintang memang lebih tinggi dari sebuah pesawat terbang yang paling tinggi sekalipun?Sekianlah.Harap Mas memaafkan saya."
MURNI
- Hal. 126

***

Banyak pesan yang saya dapatkan dari buku ini. Pacar seorang seniman menunjukkan kacamata yang berbeda dalam menilai dan memandang suatu perkara. Mengembalikan kenangan kita pada suasana silam yang penuh dengan kesederhanaan dan kedamaian. Mengajar sekaligus menghibur.

Books Review: Sharp Objects by Gillian Flynn

Kamis, 02 Maret 2017



Kalau mendengar judulnya, mungkin belum terdengar familier. Tapi, bagaimana dengan penulisnya? Gillian Flynn adalah penulis Best Seller novel Gone Girl yang juga telah diadaptasi ke dalam film pada tahun 2014. Salah satu film terbaik dan masuk ke beberapa nominasi penghargaan film. Genre dari kedua buku Gillian sendiri, tidak jauh berbeda. Berkaitan dengan pembunuhan, misteri, dan wanita. Bahkan setelah menikmati dua karya Gillian dalam bentuk buku dan film, saya berpikir kalau Gillian memang ingin menunjukkan sisi kelam dan liciknya seorang wanita. Karena Gillian akan mengenalkan kita pada sosok wanita yang sangat berbeda daripada yang biasa kita temui. Jauh dari kata manis, lembut, dan ramah. Ya, meskipun tidak semua karyanya menggambarkan hal itu. Berikut adalah sekilas trailer dari film Gone Girl:




Sharp Objects sendiri berkisah mengenai seorang reporter berita kriminal bernama Camille Preaker. Ia ditugaskan oleh atasannya untuk meliput sekaligus menyelidiki kasus pembunuhan dua anak perempuan di kampung halamannya, Wind Gap. Sebenarnya ia tidak mau, tapi ia tidak punya pilihan lain. Camille harus kembali ke tempat yang paling ia hindari. Bertemu dengan orang yang paling ia jauhi, Ibunya. Hubungan Camille dan Ibunya memang tidak baik. Sejak kecil, ia tidak pernah dekat dengan Ibunya. Sementara Ayah, Camille bahkan tidak mengetahui nama laki-laki yang harusnya menjadi sosok Ayah baginya. Ia hanya mengenal Alan, suami baru Ibunya yang juga Ayah dari adik tiri yang ia sayangi, Marian. Sayang, Marian meninggal karena sakit yang ia derita ketika Camille berumur 13 tahun. Hal itu semakin membuat jarak antara Camille dan Ibunya.

Bertahun-tahun tidak kembali ke kota kelahirannya, tidak banyak yang berubah. Hampir semuanya masih sama begitu pula dengan orang-orangnya. Camille bisa bertemu dengan beberapa teman lamanya dan teman Ibunya. Ia juga bertemu Amma, adik barunya yang kini menginjak umur belasan tahun. Begitu muda dengan kebinalan yang sangat lihai ditutupi lewat tingkah manis dan lugunya. Selama mencari berita yang bisa dikutip, Camille turut berusaha untuk mencari tahu pelaku pembunuhan. Awal yang memperkenalkannya dengan Richard, seorang detektif khusus dari Cansas City yang sengaja dipanggil untuk menyelidiki kasus tersebut. Itulah yang saya sukai dari Gillian Flynn. Ia bisa membungkus percintaan, kegilaan,  kebrutalan, dan kesedihan dalam satu paket yang apik.

Masalah selalu datang jauh sebelum kau benar-benar melihatnya.
-       Hal. 83


Satu hal pasti yang bisa dijadikan garis besar dari novel ini. Sakit.

Entah itu menyakiti, disakiti, bahkan mencari kesenangan dari rasa sakit itu sendiri. Mungkin itulah yang menjadi alasan mengapa buku ini diberi judul “Sharp Objects”. Membaca buku ini, kalian akan diajak untuk berhadapan dengan kegilaan yang perlahan akan menggiring kalian untuk membuka rahasia yang tersembunyi. Sesuatu yang bisa jadi sesuai dengan apa yang kalian pikirkan atau malah sebaliknya.

Dari segi penulisan, saya tidak mengalami kesulitan yang berarti. Sharp Objects milik saya, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga saya juga kurang tahu dengan tulisan asli yang menggunakan bahasa Inggrisnya. Namun, dari terjemahannya, saya masih bisa menangkap maksud yang disampaikan oleh Gillian. Meskipun ada beberapa kalimat yang perlu dibaca beberapa kali untuk memahaminya. Terlepas dari penulisan, Sharp Objects mengajarkan sesuatu yang baru bagi saya. Mungkin juga kalian, para pembacanya.

Kadang-kadang saat kau membiarkan orang-orang melakukan sesuatu padamu, sebenarnya kau melakukannya pada mereka.
- Hal. 328

Sayangnya, bagian akhir dari novel ini terkesan buru-buru dan terlalu cepat. Seolah teka-teki terungkap dengan begitu saja. Tanpa penambahan atau pengurangan. Sehingga lebih terlihat sebagai pemaparan dari rahasia demi rahasia. Seperti kunci jawaban yang dibuka satu persatu. Selain itu, secara subjektif, saya mengalami kepatahatian di bagian akhir. Karena, tebakan saya mengenai ending novel ini ternyata benar. Bagi saya, itu sesuatu yang buruk sekaligus menyenangkan. Buruk, dikarenakan tebakan yang benar, saya justru tidak bisa merasakan ketakjuban yang harusnya saya alami. Saya tidak terkejut di saat seharusnya saya terkejut.  Hal itu yang membuat saya malah tidak bisa menikmati bagian akhirnya secara maksimal. Bagian menyenangkannya adalah, ya jelas, karena tebakan saya benar mengenai akhir ceritanya. Kalian tahu? Betapa bahagianya ketika saya ternyata memiliki jalan pikiran yang sama dengan penulis buku ini.

Secara keseluruhan, saya menyukai buku ini. Sebagai novel bergenre thriller, Sharp Objects bisa menjadi salah satu hiburan yang menyenangkan, menegangkan, sekaligus mencengangkan. Secara tidak langsung, Gillian juga menunjukkan lika-liku yang harus dihadapi oleh seorang reporter kriminal seperti Camille. Ada satu kutipan yang paling saya sukai dalam novel ini terkait dengan profesi reporter:

Reporter itu seperti vampir. Mereka tidak bisa masuk ke rumahmu tanpa undangan, tapi sekali mereka masuk, kau tidak akan bisa mengeluarkan mereka hingga mereka menyedot darahmu sampai kering.
Hal. 138-139
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS