Sosialisasi Pertama ^^

Selasa, 29 Januari 2019


Sumber: Instagram @hmbpoliban

Sabtu, 26 Januari 2019

Assalamu'alaikum, wr, wb.

Sebagai pengawal tahun, mungkin ini adalah tulisan kedua saya. Alhamdulillah, ada sebuah cerita yang bisa saya bagikan hari ini. Saya mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk bisa mengisi materi dalam suatu acara bakti sosial yang diadakan oleh salah satu perguruan tinggi di daerah saya. Suatu kebetulan yang sangat sayang jika disia-siakan. Teman SMA saya menghubungi saya untuk menjadi pemateri mengenai "Cara Menyikat Gigi" bersama adik taman kanak-kanak yang ada di suatu desa. Tentu, bagi saya yang seorang mahasiswi semester 1 kedokteran gigi ini sangat menyenangkan. Terlebih saya belum ada pengalaman mengenai bakti sosial. Setelah menyelesaikan beberapa perkara, akhirnya diputuskan bahwa saya dan seorang teman laki-laki yang mengisi materinya. Sejak awal saya hanya berharap agar tidak mengganggu jalannya acara dan mampu memberikan pemahaman yang maksimal untuk anak-anak.

Beberapa hari sebelum acara, jujur, saya sangat gugup sekali. Saya tidak tahu bagaimana harus bersikap kepada anak kecil. Saya berpikir, justru lebih sulit memberikan pemahaman kepada seorang anak daripada orang tua. Bagaimana kalau nanti mereka tidak memperhatikan saya? Bagaimana kalau ilmu yang ingin saya bagi tidak tersampaikan dengan baik? Bagaimana kalau nanti ada anak yang ricuh? Bagaimana kalau orang tuanya menanyakan hal-hal yang bahkan jauh dari sepengetahuan saya? Apa yang harus saya katakan? Bagaimana cara saya bisa berbaur dengan baik bersama mereka? Segala kegelisahan itu menggantungi saya berhari-hari. Sembari mencari dental model yang dibutuhkan, saya terus berdoa agar diberi kesiapan. Kalau dipikir-pikir, ini hanyalah acara bakti sosial. Tidak perlu gugup berlebihan seperti itu, kan? Tapi, bukankah setiap hal yang pertama kali itu selalu mendebarkan? Saya takut memulai sesuatu yang salah. Saya khawatir mengacaukan semuanya.

Alhamdulillah, saya didukung oleh lingkungan yang sangat suportif. Seorang Kakak Tingkat yang sangat baik mengizinkan saya untuk menggunakan lagunya tentang "Sikat Gigi" untuk disosialisasikan. Bahkan beliau memberikan begitu banyak saran. Ia mengatakan bahwa ini adalah pengalaman pertama kali. Kalau tidak berjalan sesuai ekspektasi, bertemu kendala, ya tidak masalah. Ia menyuruh saya untuk menyiapkan apa saja yang kiranya menjadi kemungkinan terburuk lalu mempersiapkan solusinya. Saya sangat mengagumi beliau. Semoga beliau selalu dimudahkan dan dilancarkan segala urusannya. Aamiin Ya Robbal Alamin.

Sumber: Instagram @hmbpoliban

Kembali pada bakti sosial. Hari Sabtu, sekitar pukul 3 sore, saya menghadapi anak-anak TK dan bernyanyi di hadapan mereka semua. Memang benar saja. Ada yang menangis. Ada yang bengong terdiam. Ada yang menyikat gigi duluan. Ada yang berani bicara tetapi bingung saat ditanya. Ada yang tidak mendapat kebagian sikat gigi. Ada yang kepedasan dengan pasta gigi. Ada yang ramah sekali tersenyum. Ada yang selalu mengikuti arahan. Ada pula yang malu-malu. Mereka semua lucu. Jujur, ketika sampai di sana tidak ada lagi rasa gugup di dada saya. Saya hanya memperhatikan mereka ketika pertama kali, terdiam sejenak berpikir "Bagaimana saya bisa berbaur?", kemudian tiba-tiba saja saya mendekatkan diri kepada salah satu anak dan mulai bertanya namanya. Di samping mereka ada ibunya yang juga tertawa. Pengalaman yang tidak bisa saya lupakan.

Pada akhirnya, tidak bisa juga saya bilang kalau sosialisasi saya saat itu berhasil. Sikat gigi yang diberikan terlalu besar untuk ukuran anak kecil dan pasta giginya tergolong untuk usia dewasa. Anak-anak banyak yang lebih dulu mulai menyikat gigi karena saya terlalu lama menjelaskan instruksi dan tidak tahan dengan pasta gigi yang pedas. Boleh dikatakan, saya tidak mampu memberikan pemahaman yang maksimal untuk mereka saat itu. Hal itu menjadi pelajaran dan masukkan penting bagi saya ke depannya. Saya masih harus belajar lebih banyak lagi. Tentu, ini pengalaman yang sangat berharga. Ditambah, pihak penyelenggara mengatakan kalau acara gosok gigi bersama ini baru pertama kali mereka masukkan dalam susunan acara bakti sosial yang tiap tahun mereka adakan. Saya tidak boleh memberikan kesan yang buruk. Tetapi, seperti itulah upaya yang bisa saya lakukan. Saya berharap ketika ada lagi acara bakti sosial berikut-berikutnya, entah dari FKG maupun organisasi luar, saya mampu meningkatkan kemampuan saya. Rasanya sangat membahagiakan ketika bisa mengajari anak kecil apa yang tidak mereka tahu sebelumnya. Sebab, niat terdalam yang saya inginkan adalah dapat memberikan manfaat untuk orang lain.

Sumber: Dokumen Penulis

Ketika mengingat kembali pengalaman tersebut, saya mulai berpikir. Seperti itulah nantinya yang harus dan akan saya hadapi. Saya akan benar-benar terjun ke masyarakat, menyentuh, dan mengayomi mereka. Sebuah pengabdian. Tidak dipungkiri, masih banyak orang yang menganggap tidak ada apanya seorang dokter gigi. Banyak pula yang mengabaikan kesehatan gigi mereka. Itulah yang seharusnya menjadi peran saya untuk bergerak. Dokter dibentuk tidak hanya untuk belajar seumur hidup. Tidak cukup hanya dengan memakan berpuluh-puluh buku dan praktik berhari-hari. Dokter harus mampu berbaur dengan seluruh lapisan masyarakat. Pada akhirnya, masyarakatlah sasaran utama seorang dokter untuk bekerja. Masyarakat menjadi tempat mengabdi dan kepedulian seorang dokter dijunjung tinggi. Saya bersyukur diberi amanah oleh Tuhan untuk menjadi bagian dari itu. Alhamdulillahirrobbilalamin...

Sumber: Dokumen Penulis

Apa yang Sedang Saya Pikirkan?

Rabu, 09 Januari 2019

Sumber: pinterest



Belakangan, ada hal-hal yang mulanya kita anggap biasa berubah menjadi sesuatu yang justru sulit untuk kita lakukan. Entah tidak ada semangat, perasaan takut, atau kurangnya motivasi di dalam diri sendiri. Saya mengalaminya saat ini. Beberapa hari terakhir, menulis yang seharusnya menjadi kegiatan menyenangkan, entah mengapa, menjadi aktivitas yang agaknya sulit dilakukan. Duduk beberapa menit menatap layar laptop membuat saya terdiam dan tidak menghasilkan apa-apa. Alih-alih mencapai satu halaman, menulis satu paragraf pun rasanya tidak sampai. Tidak mengerti juga, apa yang sedang saya alami saat ini. Mungkin karena memang belakangan saya sudah jarang sekali membaca buku fiksi dan memantau berita. Itu yang akhirnya membuat saya tidak memiliki bahan sama sekali untuk ditulis. Mungkin, saya kurang nutrisi bacaan. Saya hanya berpikir, kalau saya membaca novel atau kumpulan cerpen, rasanya sudah tidak ada waktu lagi. Lebih baik dipakai untuk membaca bahan kuliah yang akan datang. Tetapi, pada akhirnya kedua hal itu tidak saya lakukan dengan maksimal.

Rasa malas memang membuat seseorang bisa jadi sebodoh itu yaa…

Sampai detik ini, saya masih merasa tidak cukup baik dalam membagi waktu ataupun disiplin dengan diri sendiri. Saya membuat sebuah buku planner untuk mengatur dan memantau jadwal harian saya, motivasi, atau rencana jangka panjang saya ke depannya. Tetapi, semua itu kebanyakan hanya sebatas pada tulisan di atas kertas. Sejauh ini, tidak ada yang benar-benar saya lakukan dengan maksimal. Setiap kali saya memberi tanda centang pada apa yang sudah saya tuliskan, sering kali saya berucap dalam hati, "Padahal saya bisa melakukan lebih baik dari ini." tetapi kenyataannya, saya hanya kembali duduk dan tidak berbuat apa-apa.

Kemudian, malam ini saya memutuskan untuk menulis blog. Sebenarnya, ada sebuah buku yang baru selesai saya baca. Buku pertama yang saya tuntaskan di awal tahun ini. Sangat bagus sekali. Mungkin akan saya ceritakan di lain waktu. Kembali ke topik awal, saya menulis blog. Saya harus mulai bertanya kepada diri saya sendiri. Apa yang sebenarnya saya pikirkan saat ini? Apa masalah yang saya hadapi sampai mengganggu rutinitas saya belakangan ini? Apa kiranya yang menghalangi saya terhadap hal-hal yang saya sukai?

Saya merenung sejenak, lalu menyimpulkan suatu jawaban: Saya tidak tahu persis, rasa takut mungkin, atau malas.

Yap! Sudah saya temukan pelaku utamanya. Takut dan Malas.

Takut memang sering kali menghampiri setiap orang, ya? Takut untuk mencoba hal baru, takut gagal, takut salah, takut jika nantinya tidak bisa diterima, dan berbagai rasa takut lainnya. Rasa takut yang pada akhirnya melahirkan pikiran di kepala saya untuk berkata, "Ah, sudahlah. Buat apa mencoba? Toh, nanti tidak akan ada hasilnya." Sungguh pemikiran yang buruk sekali. Saya menyadari rasa takut yang muncul, sekecil apapun itu, bisa jadi memunculkan pemikiran-pemikiran negatif yang akan membawa kita pada aksi yang negatif pula. Kalau sudah begitu, ya jelas kita tahu akhirnya. Sesuatu yang sudah diawali dengan hal buruk, juga akan berakhir dengan hal yang tidak baik. Rasa takut itulah yang harus dihilangkan. Betul-betul dimusnahkan.

Semua orang pernah mencoba. Tentu, pernah gagal juga. Kalaupun tidak ada yang bisa menerimamu, paling tidak, dirimu sendiri yang menerima apa yang sudah kamu lakukan. Tidak perlu menghiraukan orang lain yang juga tidak memberimu makan. Melangkahlah dengan pelan, namun pasti. Yakinkan, bahwa kamu bisa menyelesaikan apa yang sudah kamu mulai.

Sementara, untuk Si Malas. Saya hampir merasa buntu menghadapinya. Tidak mengerti lagi harus berbuat seperti apa. Kadang dia bersembunyi lewat handphone yang saya genggam. Melalui folder film yang sudah saya pisahkan dari loker manapun. Sudah juga saya isolasi dari semua jaringan yang ada. Tetapi, lagi-lagi dia kembali dalam bentuk yang tidak pernah saya mengerti. Malas itu memang batu. Saya selalu saja merasa jadi orang paling buruk di dunia jika mengingat betapa akrabnya saya dengan Malas. Rasanya betul-betul tidak berguna. Muncul perasaan ingin berbuat sesuatu, action! Namun kemudian, saya hanya akan terdiam lalu tepekur lagi. Begitu saja terus sampai matahari terbelah menjadi dua!

Adakah jalan lain yang bisa ditempuh agar Si Malas ini bisa pergi jauh? Minimal, mengurangi keberadaannya saja. Ingin sekali rasanya, melepas Si Malas dan berteman dengan Disiplin. Namun hampir dari kita semua sudah tahu, setiap hal yang telah kita kenal agaknya tidak bisa kita hapuskan seratus persen. Selalu ada bagian sepersekian yang tersisa. Selalu.

Terlepas dari itu semua, saya tetap berharap agar Takut dan Malas segera beranjak. Paling tidak, dengan mulai keluar dari zona nyaman sedikit demi sedikit. Kalau dipertimbangkan dengan matang, ada lebih banyak hal yang bisa saya temui jika saya mampu melepaskan mereka. Akan ada lebih banyak kesempatan dan jalan baik. Bukankah kita tidak boleh ragu untuk membuang sesuatu yang memang tidak membawa kebaikan untuk kita?

Setidaknya, saya harus yakin dulu sebelum akhirnya memutuskan untuk benar-benar melangkah.
***
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS