Review Buku: Elegi - Dewi Kharisma Michellia

Selasa, 20 Juni 2017



Judul Buku                    : Elegi
Penulis                           : Dewi Kharisma Michellia
Penerbit                         : Grasindo
Tahun Terbit                  : 2017
Jumlah Halaman           : 162

Sesuai dengan judulnya, Elegi karya Mba Dewi Kharisma Michellia ini akan selalu membawa kita untuk bergumul pada kepedihan, kepergian, dan kematian. Diramu dengan apik dan segar, membuat kita terkadang harus membaca atau berpikir dua kali untuk mengerti apa arti yang ingin disampaikan Mba Dewi sebenarnya. Sebagian ada yang terasa sedikit ganjil, beberapa ada yang sulit saya pahami, namun ada pula yang teramat menyentuh hati.

Buku kumpulan cerpen ini terbagi ke dalam 13 cerita pendek dan 6 fragmen yang beberapa di antaranya telah dimuat di media massa. Kita akan masuk dalam kesedihan yang disebabkan oleh patah hati, kematian orang terkasih, kehilangan sosok keluarga, hingga kerinduan yang mendalam. Elegi mengajak kita untuk mencicipi sembilu dari sisi dan sudut pandang yang beragam. Lebih tepatnya, menunjukkan kepada saya bahwa di dunia ini, banyak hal dapat mengundang luka, termasuk seorang penulis yang sedang mandek sekalipun. Tidak lupa juga dengan potongan-potongan yang singkat, namun membekas.

Di sini saya hanya akan menuliskan sinopsis 3 cerpen favorite saya dari buku ini, ditambah dengan beberapa fragmen yang hmm.. menyentil perasaan saya.
  • Penulis Fiksi              
Penulis Fiksi berkisah tentang tokoh Aku yang sering sekali memperhatikan tetangga barunya. Sampai suatu ketika, Ibunya tokoh Aku memberitahu kalau tetangga baru mereka itu masuk rumah sakit karena percobaan bunuh diri yang ia lakukan. Tetangga barunya itu dilarikan ke rumah sakit setelah ia menenggak racun, memutus urat nadinya, lantas loncat dari lantai dua rumahnya. Dan beruntungnya, sungguh beruntung, pria itu tidak mati.

Orang tuanya menyuruh tokoh Aku untuk menjenguk pria itu ke rumah sakit. Di sana, tokoh Aku mengobrol dengan pria itu. Tegur sapa yang pertama kali mereka lakukan, semenjak pria itu menjadi tetangganya. Pria itu memberikan sesuatu kepada Aku dan setelahnya, sesuatu berjalan begitu saja.
Ia menunjuk pada parsel-parsel yang menghiasi kamarnya. “Kau tahu dari mana datangnya bingkisan-bingkisan ini?" Aku menggeleng. Aku tak suka orang-orang melankolis. Ia tersenyum. “Aku meminta para perawat membelikannya untukku.” 
-          Hal. 19

  • Tanda
Bagaimana rasanya jika kau bertemu lagi dengan orang yang kau cintai dulu, dalam wujud yang sering kali mengawang lalu hilang berhambur dengan debu? Di saat kau menyadari bahwa kau dan kekasihmu sudah tidak berada dalam dunia yang sama? Kira-kira seperti itulah pembuka yang disajikan dalam cerita Tanda.

Seorang pria berjumpa dengan kekasih lamanya yang berkata bahwa saat ia dapat mengunjungi dan tinggal di dunia dalam waktu yang lama, itu pertanda saatnya ia tak akan boleh pergi ke sana nantinya. Oleh karena itu, sang kekasih memberikan seekor kucing kepada pria itu. Seperti yang kita tahu, setiap arwah yang berada di alam yang bukan semestinya, itu berarti bahwa ada ‘sesuatu yang belum selesai’. Dan benar saja. Ketika si pria bermimpi tentang kekasihnya itu, di sanalah (mungkin) semua masalah akan selesai. Dan si kucing yang ia beri nama Tanda, menjadi ‘pertanda’ bagi suatu awal yang baru. Mungkin.

Sebenarnya si pria enggan. Namun, ia pun tidak tahu cara menolak. Maka, ia mengunci pintu kamar flat, mengikuti si perempuan yang menggendong Tanda dengan sayang di pelukannya. Sepanjang lorong menuju kamar si perempuan, mereka mulai berkenalan. 
-          Hal. 45

  • Keberangkatan
Dibuka oleh perpisahan seorang anak gadis bernama Diandra dengan Papanya, Keberangkatan menghidangkan kisah sebuah keluarga Broken Home yang berbeda. Kemelut yang tidak kunjung reda, dituturkan dari sudut pandang sang Papa, menunjukkan kepada kita betapa rumitnya keluarga mereka. Papa yang merasa bosan dengan pekerjaan di kantor, berpikir bahwa uang tabungannya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka, lalu memutuskan resign. Keadaan memburuk ketika Papa terjebak dalam perjudian dan klub-klub malam. Tanpa memberikan pilihan apapun kepada Mama yang dengan terpaksa harus mencari pundi-pundi rupiah. Mengalihkannya menjadi tulang punggung keluarga.

Diandra adalah anak perempuan yang diidam-idamkan oleh Mama. Sayangnya ia muncul bukan dari rahim Mama melainkan ditemukan di tempat sampah di panti asuhan. Masih sangat mungil dan merah. Mungkin itulah sebabnya ketika bercerai, Mama lebih memilih Andreas, anak laki-laki pertama mereka atas hak asuhnya. Sedangkan Papa dengan senang hati menerima Diandra. Papa sangat menyayangi kedua anaknya. Karena Andreas dan Diandra-lah, Papa akhirnya bertekad untuk berubah. Berhenti menegak alkohol, berjudi, dan mulai mencari pekerjaan lagi.

Akan tetapi, seakan kebagiaan tidak pernah berpihak pada keluarga mereka, suatu rahasia besar terbongkar. Rahasia tentang masa lalu yang bisa saja mengubah kehidupan mereka saat ini. Rahasia yang juga menentukan hidup Diandra. Hidup keluarga mereka.

Mungkin di rumah sakit, Andreas akan menyadari bahwa Ibunya bergolongan darah O, Ayahnya bergolongan darah B, dia bergolongan darah A, dan adiknya bergolongan darah AB. Sesuatu yang tak sempat aku dan istriku sampaikan secara langsung kepada mereka. 
-          Hal. 82
Fragmen-fragmennya seperti Rekan Bicara, Hidup Kita Selepas Elegi, dan Semiliar Perbedaan juga mengantarkan kita pada akhir yang sendu. Bagaimana kita bisa bertemu dengan rekan bicara yang bisa bicara dari hati ke hati. Yang mampu bicara hanya dengan genggaman tangan, atau kepala yang merebah di pundak satu sama lain. Adanya harapan baru akan hidup yang lebih baik setelah berbagai kesusahan yang kita alami. Tentang orang tua yang bercerai, Ayah pemabuk dan Ibu yang kerap gonta-ganti pacar, hingga anak yang menderita karena pilihan-pilihan salah yang orang tua ambil dalam hidupnya. Namun, akan selalu ada kertas putih untuk ditulis kembali, bukan? Tidak peduli seberapa banyak tinta yang mengotori halaman sebelumnya. Begitu pula dengan banyaknya perbedaan yang membatasi setiap orang. Sama seperti puzzle, saat kita mendapati potongan-potongannya, kita bukan berusaha mencari kesamaannya untuk dapat menyatukannya. Tapi, kita mencari kecocokannya.

Cerpen-cerpen Mba Dewi, mengalir dengan santai namun menghujam tepat di dada. Membuat saya berkali-kali menghela napas dan tersenyum miris. Penceritaan maupun alurnya menawarkan suasana yang berbeda untuk saya. Saya bisa semakin kagum dan menyukai kepenulisan Mba Dewi, atau justru kebingungan dengan plotnya yang terkadang tidak masuk akal dan berbelit. Terlepas dari kekurangan itu, Elegi tetap menjadi buku yang indah untuk menemani kita saat duka dan berbagi kehilangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS