Cerpen: Percakapan di Sabtu Malam

Sabtu, 17 September 2016


pinterest
Hari ini adalah Sabtu yang dingin.

Menusuk saat pagi, menyengat di siang hari, dan kembali sejuk di malam hari.

Ini malam Sabtu yang panjang.

Namun terasa singkat saat aku bertemu denganmu di persimpangan jalan. Kau memakai hoodie jumper berwarna abu-abu lengkap dengan tudung kepalanya. Duduk di kursi yang tidak jauh dari perempatan, tepat di bawah pohon angsana. Aku sering melewati jalan ini. Rute yang selalu kutempuh setiap malam di saat aku tidak bisa memejamkan mata. Memang, belakangan terakhir aku sering terjaga. Tidak tahu apa penyebabnya. Sehingga, aku akan berjalan-jalan sebentar keluar rumah. Mengitari perkomplekan yang luas ini dan menikmati udara malam yang dingin.

Tetapi, di antara banyaknya malam yang kuhabiskan seorang diri. Baru malam ini aku bertemu denganmu. Malam ini pula, aku pertama kali melihatmu. Lalu, aku pun memutuskan untuk duduk di sampingmu dan bertanya,
"Hai, siapa namamu?"

Kau hanya diam. Tetap menunduk dengan posisi yang sama seperti sebelumnya.
"Apa aku mengganggumu?" Tanyaku lagi, "Aku belum pernah melihatmu di sini sebelumnya. Apa kau pendatang baru?"

Kau pun akhirnya menoleh ke arahku. Menatapku beberapa menit, kemudian menegakkan posisi dudukmu. Entahlah. Sebelumnya, aku berpikir kau adalah lelaki paling dingin yang pernah kutemui. Tak ada satu pun orang di dunia ini yang begitu pendiam sepertimu.

"Kau tahu? Dunia ini aneh." Itu ucapmu pertama kali.

Lelaki gila, pikirku. Aku tidak menanyakan sedikit pun pendapatmu tentang dunia. Tapi, kau malah menjawab sesuatu yang sama sekali bukan pertanyaanku. Maka, aku pun hanya bereaksi,

"Ya, semua orang tahu itu."

Kau kembali diam. Beberapa menit berikutnya, kau akhirnya kembali membuka suara, "Apa yang sedang kau cari di sini?"

"Apa? Aku tidak sedang mencari apa pun."

"Lalu, mengapa kau berada di sini?"

"Hanya berjalan-jalan sebentar. Aku tidak bisa tidur."

Mendengar jawabanku, kau justru terkekeh. Itu suara tawamu yang pertama kali kudengar. Begitu nyaring, di antara remangnya gelap malam dan purnama. "Kau ini lucu sekali."

Apa? Aku bahkan tidak sedang melucu, "Apa yang membuatmu tertawa?"

Setelah cukup mampu menahan diri, kau kembali diam. Pandanganmu mengarah ke langit. Menuju satu titik cahaya yang bersinar. Bulan. "Siapa namamu?"

Pertanyaanmu itu membuatku berubah pikiran. Kau bukan hanya lelaki terdingin, tetapi juga orang tertidaknyambung yang pernah kutemui. Aku bahkan ragu, apakah kau sebenarnya tahu bagaimana cara berbicara yang baik dan benar? Namun, karena kau adalah orang pertama yang kutemui di malam yang begitu dingin ini, maka aku pun menjawab, "Arini."

pinterest
Wajahmu masih mendongak menatap rembulan. Kau menghirup napas dalam-dalam. Memejamkan mata. Kemudian menghembuskannya perlahan. Kau mengubah posisi dudukmu. Menyandarkan leher pada sandaran kursi taman yang terbuat dari besi-yang semakin terasa dingin karena terkena embun malam-dan memasukkan kedua tanganmu ke kantong hoodie-mu.
“Pergilah dari sini! Ini bukan tempatmu."

Aku memicingkan mata. Semakin yakin, aku telah membuang waktuku untuk mengobrol dengan orang gila yang tersesat hingga duduk di kursi taman komplekku. Aku membuat jarak denganmu. Mengambil beberapa senti menjauh dari posisi awal.

"Kau yang harusnya pergi dari sini. Sejak awal aku berada di tempat ini. Sedangkan kau? Melihatmu pun, aku baru hari ini."

"Dunia ini aneh ya." Itu ulangmu lagi.

"Ya, sama anehnya denganmu."

"Tahukah kau, Arini? Kalau dunia itu sering terbalik."

Aku kemudian mendelik ke arahmu. Tidak salah dengarkah aku? Kau menyebut namaku tadi. "Ya, karena dunia itu seperti roda. Ia akan berputar terus-menerus."

Kau membuka matamu. Kembali menatap rembulan yang semakin cemerlang, lalu menoleh ke sampingmu-ke arahku yang sudah duduk menjauhimu. "Bukan itu maksudku. Terbalik dalam arti yang sebenarnya."

Itulah saat pertama kalinya aku melihat wajahmu dengan sangat jelas. Kau memiliki kulit yang cokelat. Rambut hitam legam dengan alis yang tipis namun panjang dan hampir bertaut. Ada satu hal yang paling indah di wajahmu. Kau memiliki tatapan yang meneduhkan. Bias cahaya rembulan, semakin menambah keindahan pada matamu. Entahlah. Seketika, aku tersihir olehmu.

"Arini, dunia ini tidak pernah bisa memuaskan setiap manusia, bukan?" Tanyamu, seraya kembali menatap rembulan.

Aku tidak menjawab. Mungkin, kali ini aku yang dibiarkan bisu dan terus mendengarmu. Orang asing yang bahkan baru malam ini kutemui.

"Banyak orang hidup namun merasa sudah mati. Begitu pun dengan orang mati yang merasa tetap hidup." Ada jeda sejenak, kemudian kau melanjutkan, "Sepertimu."

Aku mengernyitkan dahi. Apa yang baru saja orang gila di depanku ini katakan? Dia menyebutku apa?

"Arini, sadarkah kau bahwa kau ini sudah mati?" Tanyamu memperjelas.

Aku mendelik tajam. Tidak tahan dengan semua omong kosong yang kau katakan sejak tadi. "Apa maksudmu? Jika kau tidak ingin berteman dan merasa terganggu, lebih baik katakan saja. Jangan malah berucap seperti itu!"

Kau akhirnya menoleh padaku. Menatapku lekat-lekat. Seakan menerobos dada hingga ke dalam jantung. Aku merasa tenggorokanku tersangkut. Membuatku tertahan dan tidak bisa berkata sepatahpun.

"Sudah berapa banyak malam yang kau lewatkan dengan terjaga seperti ini? Kau hanya mengulang malam yang sama. Kau tetap berada di sini. Tidak pernah berjalan ke mana pun."

Rahangku terasa mengeras. Dingin yang semula biasa, kini terasa mulai menusuk seluruh tubuhku. Oh, bagaimana aku bisa seperti ini? Aku bahkan tidak memiliki tubuh. Dengan getir aku akhirnya bertanya, "Bagaimana kau tahu bahwa aku sudah mati? Sedangkan aku sendiri tidak menyadarinya?"

Kau tersenyum kecil, kembali menatap rembulan yang kini separuh tertutup awan gelap.

"Sejak kecil, aku bisa melihat kematian. Di dunia ini, ada banyak sekali kematian yang aku yakini, kau tidak akan pernah sanggup melihatnya. Itulah mengapa aku berkata, bahwa dunia ini sering terbalik. Aku hidup, namun dengan kemampuan ini aku merasa seolah-olah telah mati. Sedangkan kau? Kau telah mati, tetapi merasa tetap hidup."

Aku lemas mendengarnya. Menyandarkan tubuhku yang ringan pada bangku taman yang tidak terasa apapun lagi. Ikut menatap rembulan seperti kau, "Bagaimana aku bisa begini?"

"Coba kau pikir, kenapa orang mati masih dibiarkan melangkah di bumi? Menghirup angin malam dan melewati jalan yang sama?"

Aku melirik ke arahmu. Berdehem sembari mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum ini. "Pasti ada sesuatu yang belum selesai."

Kau diam mendengar kesimpulanku. "Terima kasih sudah menyadarkanku." Ucapku lagi.

"Ya, aku hanya ingin membantumu."

Ada jeda sejenak,
"Kalau begitu, maukah kau membantuku lagi? Sebenarnya, aku masih belum tahu apa yang harus kuselesaikan."

Kau menoleh ke arahku. Menegakkan posisi dudukmu, lalu tersenyum. Lebih ramah dan tulus. "Dengan senang hati."

Beberapa saat, aku dan kau terdiam. Menatap pada rembulan yang bersinar di langit malam. Hanya terdengar hembusan angin malam dan jangkrik yang berbunyi. Malam ini terasa benar-benar sunyi. Saking sunyinya, sampai aku bisa mendengar suara detak jantungmu yang teratur.

"Jadi, siapa namamu?" Tanyaku lagi.

"Panggil saja aku Andrea."




Malam semakin larut dan dingin terus menyeruak. Malam yang begitu panjang. Namun terasa singkat saat aku telah mengetahui semua kebenarannya. Seakan waktu segera habis dan aku harus cepat menyelesaikan tugasku. Mengakhiri sesuatu yang belum berakhir.

pinterest

*****

1 komentar:

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS