Books Review: The Seven Good Years by Etgar Keret

Jumat, 13 Januari 2017

The Seven Good Years adalah buku pertama yang selesai saya baca di awal tahun ini. Sekaligus juga menjadi buku memoar pertama yang saya baca. Buku inilah yang membentuk kesan pertama saya terhadap karya seorang penulis Israel, bernama Etgar Keret. Secara pribadi, saya belum pernah membaca karya-karya Etgar Keret. Melalui review seorang penulis favorit sayalah, akhirnya saya memutuskan untuk membeli dan membaca salah satu karyanya. Karya yang dikatakan oleh penulis idola saya, sebagai karya terbaik Etgar Keret.

Sesuai dengan judulnya, memoar ini terbagi atas tujuh bagian yang menggambarkan tujuh tahun terbaiknya. Mulai dari cerita mengenai kelahiran anak pertamanya, Lev, sampai kisah tentang Ayahnya yang meninggal dunia. Karena ini adalah karya pertama yang saya baca dari seorang penulis Israel–yang kita tahu bahwa negara itu merupakan daerah konflik yang kapan saja bisa terjadi serangan bom–setidaknya, buku ini bisa memberikan gambaran yang nyata kepada saya bagaimana situasi sebuah daerah yang sedang berperang. Sangat nyata.

Meskipun dilatarbelakangi oleh peperangan, tidak semua ceritanya melulu tentang penderitaan dan kesedihan. Sebaliknya, Etgar justru membungkus kenangannya begitu rapi dengan jenaka dan humanis. Ya, saya bisa tertawa tiba-tiba dibuatnya. Terkadang juga sekaligus merasa terharu, kasihan, atau menggurat senyum pahit sembari terus membaca.


Aku berpikir sejenak sebelum menjawab. “Lihat,” kataku sambil membelai pipinya, “dunia yang kita tinggali kadang bisa menjadi sangat keras. Dan, ini akan adil untuk setiap orang yang lahir mendapatkan setidaknya satu orang yang selalu akan ada di sana untuk melindunginya.”
-      Hal. 175

Setiap bagian dari buku ini, memiliki kenangannya tersendiri. Begitupula bagi saya. Satu hal yang harus saya ingat ketika ingin membaca tulisan Etgar adalah, saya harus memiliki tingkat konsentrasi dan kefokusan yang tinggi, setidaknya begitu. Sebab, di hampir setiap bagian saya memiliki kebingungan tersendiri dengan makna dan maksud yang ingin disampaikan oleh Etgar Keret. Begini, dalam hobi membaca–entah itu novel, cerpen, memoar, atau jenis sastra apapun–saya terbiasa dengan prinsip utama bahwa ‘saya harus memahami maksud dan pesan yang ingin disampaikan dalam tulisan itu’. Sehingga setiap kali saya selesai membaca, maka dalam pikiran sayapun akan muncul pertanyaan, “Apa yang bisa kamu simpulkan dari cerita ini?”

Dan saya tidak mendapatkan jawabannya dalam beberapa cerita di buku The Seven Good Years ini. Sebenarnya saya juga sangsi, apakah memang maksud dari cerita yang sulit saya pahami, apakah kalimat terjemahannya yang kurang saya resapi, apakah tulisan dari Etgar Keret sendiri yang (jujur saja, saya merasa) agak berbelit, atau memang pemikiran saya yang masih sangat dangkal dan sempit sehingga tidak begitu paham dengan makna yang disampaikan oleh si penulis? Hhmm.. saya lebih memilih asumsi yang terakhir. Haha.

Kendati demikian, saya masih bisa menemukan bagian lain yang begitu saya pahami. Ketika saya dapat menangkap apa yang ingin diungkapkan Etgar, saya merasa begitu mengenalnya. Mungkin ini terbaca sedikit aneh, tapi memang seperti itu nyatanya. Saya baru mengetahui tentang seorang keturunan Yahudi yang amat berpihak kepada perdamaian di negara berpendudukan Muslim dan dunia. Bahkan, ia pun pernah disambut baik dalam acara kepenulisan (mungkin, itu acara kepenulisan) yang dihadiri oleh Gubernur dan perwakilan keluarga kerajaan di Istana Bali.



Aku adalah penulis Israel pertama yang pernah datang ke Bali. Aku bahkan mungkin menjadi orang Israel pertama atau bahkan orang Yahudi pertama yang pernah dilihat oleh hadirin di sini. Apa yang mereka lihat ketika melihatku? Mungkin seekor kadal, dan dari senyuman yang mulai memancar di wajah-wajah mereka, kadal ini jauh lebih kecil dan lebih ramah daripada yang mereka bayangkan.

-      Hal. 32

Saya kira, itulah yang bisa saya sampaikan setelah membaca buku ini. Kisah dan kenangan yang penuh kelucuan, keharuan, dan makna yang mendalam. Ketika membacanya, kita tidak hanya akan terbius oleh kekhasan dari bahasa dan latar hidupnya, melainkan juga menikmati ketersesatan kita dalam setiap bagiannya.


“Saya peringatkan Anda sebelumnya,” katanya dengan senyuman, “ini sangat tidak nyaman. Tetapi, ini akan membuat Anda keluar dari sini, dan Anda akan mempunyai cerita yang bagus untuk ditulis.” Dan dia benar.


-      Hal. 128

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS