Review Buku: Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu - Norman Erikson Pasaribu

Jumat, 30 Juni 2017


Kesepian bukanlah hidup sendirian, kesepian adalah ketidakmampuanmu untuk menjaga seseorang atau sesuatu tetap di sisimu. 
-          Hal. 87

Judul buku          : Hanya Kamu yang Tahu Berapa Lama Lagi Aku Harus Menunggu
Penulis                : Norman Erikson Pasaribu
Penerbit              : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Ke-       : 1
Tahun terbit       : 2014

Sebenarnya buku ini telah saya beli kira-kira setahun yang lalu. Atau kalau saya salah, mungkin dua tahun. Ketika saya masih belum cukup mengerti dengan buku-buku sastra dan cara berpikir saya yang juga belum bisa memahami hal-hal rumit. Persis seperti Kakek Nakata rekaan Haruki Murakami yang tidak terlalu pandai. Oleh karena itu, buku ini pun hanya teronggok dalam lemari kaca dan menua karena mulai berjamur. Jujur saja, salah satu hal lain yang membuat saya kembali tertarik untuk membaca buku ini adalah, selain karena judulnya yang bisa dibilang hmm, cukup panjang dan menohok hati, juga karena cover-nya yang tampak kelam. Membuat sebuah pertanyaan di kepala saya pun muncul, Benarkah menunggu bisa sesakit  dan semenyiksa itu?

Buku ini, merupakan kumpulan cerpen yang beberapa di antaranya telah dimuat di berbagai media massa. Tidak mengherankan, karena setiap kali saya berhasil menandaskan satu cerpen, saya selalu tertegun. Tentu dalam artian ‘terkesima’. Cerpen pertamanya yang berjudul Tentang Mengganti Seprai dan Sarung Bantal sukses menjadi pembuka yang menohok bagi saya. Nuansa akan kepedihan, percintaan, dan pandangan sosial terasa amat kental. Memberikan gambaran sepenuhnya kepada saya, bagaimana cerita-cerita selanjutnya akan saya nikmati.

Kadang-kadang ketika stress menulis berita, aku menekan Command+Z–undo typing–berulang-ulang, perlahan-lahan, hingga yang tersisa hanyalah layar putih, lalu aku mencuci mukaku dan menatap wajahku dan berkata kepada bayangan diriku, “Tak ada yang terjadi, semua itu tak terjadi.” Dan, kau tahu, kelak dalam kehidupanmu ada momen semacam itu, di mana semua kesedihan yang kau alami tiba-tiba berputar mundur di kepalamu. Sayangnya, yang tersisa bukanlah layar putih–mengingat tak ada perumpamaan yang sempurna.
-Hal. 45
Tentang harusnya bersabar dalam menunggu, menerima kepedihan, kepergian, dan berusaha melupakan sesuatu yang kita tahu, bahwa akan sulit melupakannya, adalah sedikit dari banyak hal yang bisa saya tangkap dari tulisan-tulisan Bang Norman. Juga menyinggung isu sosial seperti LGBT yang dipolesnya sedemikian menarik, sehingga mampu membuka pandangan saya mengenai hal tabu tersebut.

Akan datang harinya di mana Hawamu itu tahu dan akhirnya diam-diam meminta kalian untuk pergi, memisahkan diri dariku. Mungkin saat itu kau akan bilang dengan yakinnya: Kami akan datang setiap minggu. Tapi aku tahu setelah itu kalian tidak akan kembali. Dan garpu imajinatif itu bakal laksana permata yang patah. Dan hanya aku yang tersisa. Sendiri bertahan. Persis tusuk sate.
- Hal. 47 



Selain cerita-ceritanya yang begitu berbeda, hal lain yang memesona saya ialah bagaimana Bang Norman menuturkan setiap ceritanya. Ya, sudut pandang orang pertama pelaku sampingan yang terkadang membuat saya agak kebingungan, tapi tidak pernah gagal menggoyahkan emosi. Ia punya bahasa yang seolah sanggup mengetuk hati.

“Apakah Anda pergi sendirian saja?” Pertanyaannya entah mengapa menyesakkan. Aku merasa dia menuduhku sebagai orang yang sebatang kara. Aku pernah tahu orang seperti itu, kenal dekat malah. Orang itu sudah lama pergi dan tak perlu kembali. Bara yang mengusirnya. Kalau aku tak keliru, namanya Kesepian.
-Hal. 161

Kumcer ini bisa menjadi teman hangat, selagi kalian menanti sosok yang entah kapan akan tiba. Dan untuk orang yang sedang menunggu, penantian yang belum berujung, buku ini seperti teh hangat di pagi hari yang akan membuka mata kalian. Menyadarkan kalian. Bahwa dalam perihal menunggu, segala sesuatunya tidak akan pernah mudah.

Dunia ini kadang terasa seperti penantian yang tak usai-usai. Perjalanan yang sunyi. Kadang menyenangkan, lebih sering menyakitkan. Ditinggalkan. Terpaksa meninggalkan. Patah hati. Dilupakan. Terpaksa melupakan. Kalah. Terpaksa menyerah…
-Hal. 83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS