Cerpen: Musim Panas Elina

Kamis, 23 Februari 2017


pinterest

      Gadis itu menatap lembut awan dan desiran angin yang menggoyangkan dedaunan pohon di hadapannya. Begitu menyenangkan. Dari balik jendela, ia duduk dengan kedua tangan menopang dagu. Indah sekali di luar sana. Andai saja, aku bisa bebas melangkah di rerumputan yang tinggi dan menikmati dinginnya embun pagi hari ini, pikirnya.
      Tanpa ia sadari, seseorang memasuki kamarnya. Seorang lelaki seumuran dengannya. Ia selalu memakai baju putih berkancing dan membawakan senampan makanan berisi nasi–di lain waktu berupa bubur atau sup, lauk-pauk, buah, dan segelas air mineral.
      “Masih menatap langit?” tanyanya.
       Gadis itu berbalik ke arahnya, “Bukan. Aku sedang mencari hujan.”
     Tanpa menghilangkan senyumannya lelaki itu menaikkan salah satu alisnya, “Lalu, kalau tidak ada hujan hari ini bagaimana?”
      “Aku akan tetap menunggu di sini.”
      “Begitukah?” lelaki itu memiringkan sedikit kepalanya, “Apa kau tidak mau keluar menikmati hangat mentari hari ini? Kalau kau mau, aku bisa menemanimu. Tapi, sebelum itu habiskan dulu sarapanmu.”
      “Tidak. Aku tidak akan makan, sebelum hujan turun hari ini.”
     “Wah, sayang sekali. Padahal hari ini sepertinya tidak akan ada hujan. Itu berarti kau tidak akan makan seharian.” ucap lelaki itu yang kini telah duduk di kursi yang berada tak jauh dari tempat si gadis.
      “Kalau memang begitu, biarlah.”
      Lelaki itu terdiam. Ia sedang memikirkan kata apa lagi yang harus diucapkannya agar gadis di hadapannya ini menyuapkan sedikit nasi ke mulutnya. Sudah dua hari gadis ini hanya duduk di depan jendela. Hanya mau minum itupun kalau dipaksa.
      “Siapa namamu?” tanya lelaki itu kemudian.
      “Elina.”
      Sambil berdehem lelaki itu memicingkan kedua matanya.
      “Namaku Adera.”
      “Aku tidak bertanya.” balas si gadis terus menatap jendela.
    “Baiklah, Elina. Aku akan membiarkanmu duduk di sini dan menikmati apa yang sedang kau tunggu. Tapi jika kau berubah pikiran, panggilah aku. Aku akan mengantarkan makanan lagi siang nanti.” Jelas lelaki itu akhirnya setelah hampir lima menit mereka terdiam, “Dokter akan memeriksamu jam 3 sore nanti. Sebelum kunjungan itu, kuingatkan agar kau menghabiskan makanmu. Sebab, jika tidak mereka akan membawa perawat lain untuk memaksamu makan.”
      “Aku mengerti.”

***

      Lelaki itu memandang beberapa lembar kertas di tangannya. Pikiran jauh melayang pada seorang gadis yang tadi pagi ditemuinya. Elina.
     Gadis itu sudah hampir satu bulan tinggal di tempat rehabilitasi di mana ia bekerja saat ini. Dirinya sendiripun hampir dibuat tak percaya saat melihat gadis yang begitu manis dan anggun seperti dia terikat di ranjang atau duduk dengan tatapan kosong menghadap jendela. Di lubuk hatinya yang terdalam, ia ingin menolong gadis itu. ‘Gadis itu gila. Jangan dengarkan apa yang diucapkannya. Calon suaminya tewas dalam kecelakaan yang mereka alami tepat dua hari sebelum pernikahan mereka. Tragis sekali. Akupun sering kasihan melihatnya. Seharusnya, dia bisa melewati masa sulit itu dan tidak terjebak di tempat ini’ ucap kawan lelaki itu suatu kali padanya.
      Tiba-tiba telepon di ruangannya berdering. Ia segera membuyarkan lamunannya dan meraih ganggang telepon.
      “Dera, cepat ke ruangan Elina. Gadis ini mengamuk lagi!”
      “Baiklah! Aku akan ke sana.”
      Perawat bernama Dera itu, bergegas menuju ruangan si gadis. Di tangannya sudah tersedia sekeranjang kecil suntikan, jarum, dan botol kecil berisi cairan. Ketika masuk ruangan, sudah ada dua orang perawat lelaki yang menahan tangannya dan seorang perawat wanita yang berusaha menenangkannya. Tanpa bertanya, Dera segera menyiapkan suntikan dan menusukkan jarum tajam itu di kulit si gadis. Untuk beberapa menit, napas Elina mulai melambat. Gerakan tubuhnya pun mulai melemah. Matanya perlahan menutup seakan tidak sanggup melawan kekuatan yang menyerangnya. Lalu, mereka kembali merebahkan tubuhnya ke ranjang.
      “Kita harus mengikatnya agar dia tidak kembali memberontak seperti tadi.” Ucap salah seorang perawat lelaki.
      “Memang, sebelumnya apa yang dia lakukan hingga mengamuk?” tanya Dera.
     “Kau tahu sejak tadi pagi dia hanya memandang jendela dan menunggu hujan. Hingga larut begini, ia tidak juga mendapati apa yang ditunggunya. Maka diapun mengamuk.” Jelas perawat wanita.
      “Kalau begitu, jangan ikat dia dulu. Akan kucoba besok pagi untuk membujuk dan menenangkan pikirannya.”
      Perawat lelaki yang tadi bicara terkekeh, “Sepertinya kau mulai menyukai gadis gila ini, ya?”
      “Apa maksudmu? Aku hanya prihatin melihat keadaannya.”
      “Tak usah bohong. Kalau gadis ini waras, akupun yakin pada diriku sendiri kalau aku akan jatuh cinta padanya. Sayang, dia gila.”
      Dera tidak membalas perkataan temannya. Mereka kemudian keluar dari ruangan dan mengunci pintu kamar.

***


pinterest
     Dera kembali memasuki kamar Elina. Gadis itu sudah duduk di tempat biasanya ia berada. Sepanjang hari hanya dihabiskannya dengan menatap jendela.
      “Mengapa kau selalu menunggu hujan?”
      “Mana makanan yang selalu kau antarkan untukku?”
      “Aku yakin selama kau tidak melihat hujan, kau tidak akan makan sedikitpun.”
      Gadis itu tersenyum pahit.
      “Lalu, mengapa kau selalu menunggu hujan?” tanya Dera lagi.
      “Leon suka sekali dengan hujan. Oleh karena itu, dia hanya akan datang saat hujan.”
     “Oh ya? Hanya karena itu?” Dera diam sejenak, “Kalau dirimu sendiri, sejujurnya apa kau juga menyukai hujan sama seperti Leon?”
      Elina berpikir. Mulutnya ia monyongkan ke depan dan menerawang jauh, “Sebetulnya, tidak juga. Aku sendiri biasa saja. Tapi demi bertemu dengan Leon, aku akan terus menunggunya.”
      “Begini, Elina. Kau tahu tidak, di negara kita ada dua musim. Hujan dan panas. Nah, sekarang ini sedang musim panas. Sebab itulah, jarang sekali hujan turun.” Dera menghentikan ucapannya sebentar, “Kalau kau mau, aku bisa menunjukkan keindahan musim panas padamu. Setidaknya, kau jangan hanya bergantung pada satu musim, kan?”
      Tanpa menunggu jawaban dari Elina, Dera melanjutkan, “Kau tidak boleh menolak. Aku akan mengajakmu ke luar. Aku tahu kau pasti sangat bosan di kamar ini. Lagipula, aku pernah sekali-dua mendengarmu mengeluh betapa indahnya sinar matahari pagi.”
      Dera meraih tangan Elina. Menggiringnya keluar ruangan. Ia sudah minta izin sebelumnya kepada dokter dan perawat lainnya. Tentu, awalnya mereka tidak setuju. Tapi setelah Dera membujuk mereka tiada henti, maka dokterpun mengizinkan. Lebih-lebih, dokterpun merasa Elina perlu sedikit hiburan agar mengurangi tekanan yang dideritanya.
      “Kemana kita akan pergi?”
      “Kita akan piknik di taman.”

***

      Dera memandang foto-foto di tangannya tanpa henti. Sesekali ia tersenyum, lalu menghela napas. Hari itu menjadi hari yang sangat menyenangkan baginya. Entah bagi Elina. Mereka makan di tengah taman yang hangat. Untungnya, Elina mau memakan sandwich dan roti panggang yang sudah ia siapkan dengan lahap. Untuk pertama kalinya, Dera melihat senyum gadis itu kembali merekah. Elina semakin terlihat manis di bawah banjuran sinar matahari di musim panas. Mereka duduk, berfoto, dan Dera membacakan sebuah cerita untuk Elina hingga gadis itupun tertidur beberapa saat. Seakan hari itu Elina telah menjadi gadis yang sangat berbeda dan sehat.
      “Terima kasih untuk caramu mengatasi masalahnya.” Dokter menjabat tangannya penuh sukacita, “Kalau kau melakukan ini dengan rutin, aku yakin Elina akan segera membaik. Oh ya, apa yang kamu katakan padanya ketika kalian berada di taman tadi?”
      “Sebagian hanya omong kosong saja. Aku menceritakan dongeng padanya. Selain itu aku juga berkata, kau boleh saja menunggu hujan. Tapi, setidaknya kau bisa melakukan sesuatu sembari menunggu hujan itu datang. Maka, kuajaklah dia bermain dan piknik di taman.”
      Setelahnya, keadaan Elina berangsur-angsur membaik. Ia memang masih duduk menunggu hujan datang, tapi tak lagi meraung-raung atau menahan lapar sampai ia melihat hujan. Ia bahkan sering berkeliling taman dengan Dera sambil bercerita banyak hal. Musim panas yang dilaluinya tidak lagi kering seperti sebelumnya. Dua bulan yang akan datang, dokter sudah bisa memastikan bahwa Elina bisa pulang dan dirawat di rumah. Betul-betul suatu keajaiban.

***

      Seminggu sebelum kepulangan Elina dari rumah sakit, hujan turun begitu derasnya. Rintik-rintiknya bergemuruh di atas atap. Petir dan kilat menyambar-nyambar silih berganti. Pemanasan global memang mengubah segala sesatu di permukaan bumi ini. Sampai-sampai musimpun dapat berganti-ganti sesuka hati mereka.
      Elina tengah menulis sesuatu di meja kamarnya–bahkan saking pesatnya perkembangan kesehatannya, dokter mengizinkan beberapa barang untuk ia pakai. Setelah selesai menulis, dilipatnya kertas itu kemudian diletakkan di atas meja. Dengan penuh kehati-hatian, ia berjalan ke luar kamar. Ia menghamburkan diri dan membiarkan tubuhnya diguyur hujan penuh dentuman.
      Dengan riang, ia berjalan menuju taman yang gelap.
      “Leon, aku datang.”

***

      Paginya, semua orang di rumah sakit dibuat terperanjat setengah mati. Bahkan, kecoa-kecoa dan tikus-tikus rumah sakitpun melongo dengan apa yang mereka lihat saat itu. Elina ditemukan tergeletak tak berdaya di ujung taman dekat pintu gerbang. Dari tubuhnya menguar bau hujan. Bajunya basah dan kotor dengan bekas-bekas tanah lembab. Di pergelangan tangannya, tergores lubang begitu dalam. Darahnya mengalir kemana-mana, seolah menjadi kubangan tempat ia berbaring dan menunggu. Wajahnya begitu putih dan dingin. Namun ia tersenyum begitu bahagia.

      Terima kasih untuk musim panasnya. Kau mengenalkanku pada musim panas yang indah dan hangat. Aku tidak akan melupakan itu. Tetapi, bagaimanapun hujan akhirnya datang juga. Leon menjemputku dan aku akan tinggal bersama dengannya. Selamanya.
-Elina

      Dera memandang kertas itu dengan tatapan nanar. Jari-jari tangannya amat ringkih menggenggamnya. Bagaimana bisa begini? Kukira, aku sudah bisa menyembuhkanmu. Membuatmu merasa lebih baik. Namun ternyata aku salah. Kau tidak akan pernah benar-benar sembuh, pikirnya.


pinterest

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS