CUKUP

Rabu, 15 Juni 2016

Hallo, selamat malam!

Dalam postingan kali ini, saya ingin menepati janji pada postingan yang lalu klik disini!
Yaitu mengenai Progam Bina Antarbudaya yang pernah saya ikuti. Sebelumnya saya minta maaf, karena sebenarnya ini informasi yang sangat sangat sangat lama. Bahkan sebelum bulan Ramadhan, namun karena berbagai hal (baca: malas, nonton film, tidur-tiduran, dan sibuk jalan-jalan) akhirnya saya baru dapat menuliskan pengalaman itu sekarang.

Oke, langsung saja pada inti yang ingin saya ceritakan.

Sebelumnya, telah saya jelaskan di postingan yang lain, klik disini!  bahwa saya mengikuti progam pertukaran pelajar beberapa bulan yang lalu. Hal itu dimulai dari sosialisasi Student Exchange di sekolah dan tugas wawancara dari salah satu mata pelajaran.

Kegiatan itu menambah minat saya untuk mencoba berpartisipasi dalam progam tersebut. Setelah mengisi formulir secara online, tepat pada bulan Mei, saya mengikuti tes tahap pertama. Menunggu hasilnya cukup lama, hampir 2 minggu lebih. Dan, sehari sebelum UAS berlangsung, saya mendapat kiriman e-mail dari salah satu Kakak Panitia progam tersebut.

Dapat kalian tebak apa hasilnya????

































Alhamdulillah, saya lolos seleksi tahap pertama dengan baik. :-)





E-mail itu memuat dua lampiran. Satu untuk daftar para peserta yang lolos seleksi tahap pertama dan satunya lagi untuk menjelaskan semua persyaratan tambahan yang harus dipenuhi. Kami diberikan waktu seminggu untuk melengkapi berkas-berkas. Tapi itu tidak mudah, mengingat kami sedang melaksanakan Ulangan Akhir Semester Genap.

Seleksi tahap kedua itu sendiri, berupa tes wawancara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kakak kelas saya- yang pernah mengikuti progam itu- memberi saran kalau lebih baik kita menonjolkan kelancaran berbahasa Indonesia. Hal itu dikarenakan, saat lolos ke tahap nasional kita akan dipertemukan dengan banyak perwakilan dari daerah lain. Dan tentunya, kita harus menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Kalau untuk bahasa Inggris, lebih kepada hal-hal yang bersifat dasar. Seperti pertanyaan: siapa namamu? Tempat dan tanggal lahir? Alamat dan sekolah? Pilihan negara yang ingin dituju serta alasan mengapa kita memilih negara itu.

Selama seminggu itu, saya sibuk mengumpulkan berbagai berkas. Pergi kesana dan kesini, memfotokopi, mencetak foto, melegalisir berkas, mengurus surat rekomendasi, hingga memprint out formulir yang pernah saya isi pada awal pendaftaran. Untungnya, saya tidak sendirian. Banyak teman yang satu sekolah dengan saya juga lolos dalam seleksi itu. Dan kami bersama-sama saling membantu jika ada hal-hal yang belum kami pahami.

 
Tepat hari terakhir pengumpulan berkas, hari Sabtu.
Ada seorang teman saya yang juga baru ingin mengumpul pada hari itu. Rencananya, kami ingin mengumpulnya pada sore hari.
Saat itu, sesuatu terjadi pada diri saya.

Ketika saya mengecek ponsel, saya menerima pesan dari teman saya bahwa dia sudah mengumpulkan berkasnya ke tempat dimana progam itu dilaksanakan. Beberapa menit saya sempat ragu ingin membalas pesannya. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk mengirim pesan yang isinya:

"Aku tidak jadi ikut progam itu,."

***

Keesokan harinya, tepat seleksi tahap dua dilaksanakan.
Saya tidak hadir.

Beberapa teman menanyakan tentang keberadaan saya saat itu. Mengapa saya tidak hadir? dan Kenapa saya tiba-tiba membatalkan untuk melanjutkan seleksi ini?

Ada banyak pertimbangan yang saya pikirkan untuk memutuskan hal ini. Saya mengingat lagi pada niat awal untuk ikut progam ini. Karena saya sangat menyadari, bahwa ada satu hal yang pada akhirnya akan menuntut saya untuk tidak melanjutkan progam ini lagi. Jadi, daripada menunggu sampai akhirnya, maka lebih baik saya mengundurkan diri terlebih dulu. Toh, setidaknya saya memberi kesempatan lebih longgar untuk peserta lain yang memang benar-benar berminat untuk ikut progam ini.

Saya masih ingat jelas, bahwa niat awal saya adalah untuk menambah pengalaman baru. Saya ingin tahu bagaimana rasanya mengikuti seleksi dan menjawa soal-soal pengetahuan umum dengan cakupan yang luas. Saya hanya ingin coba-coba. Karena, pada tahap seleksi pertama pun saya bahkan tidak menceritakan hal itu pada orang tua.

Saya berjanji pada diri saya sendiri, kalau saya bisa lolos seleksi ini, baru saya akan menceritakan hal ini pada orang tua. Apakah dilanjutkan atau tidak. Dan kalau saya tidak lolos, maka anggaplah ini pengalaman baru.

Setelah menerima e-mail tersebut, ternyata hasilnya diluar dugaan.
Sesuai dengan janji sebelumnya, saya pun memberitahukan hal itu pada orang tua. Saya mengira bahwa mereka akan kaget dengan apa yang saya sampaikan. Namun, ternyata mereka bersikap santai dan menanyakan balik bagaimana pendapat saya tentang hal itu.

Pada akhir perbincangan, saya mendapat kesimpulan bahwa orang tua tidak mengizinkan saya untuk ikut progam itu. Tetapi, kalau niatnya hanya untuk menambah pengalaman maka saya boleh tetap melanjutkan seleksi.

Itulah yang menyebabkan saya tetap memenuhi berbagai berkas selama seminggu. Saya masih ingin mencoba seberapa jauh kemampuan saya. Namun, ada satu peristiwa yang akhirnya membuat saya berpikir kembali tentang hal ini.
Ketika meminta surat rekomendasi dari salah seorang guru-salah satu guru favorite saya- saya menjelaskan sedetailnya alasan saya ikut progam itu. Begitu pun dengan pendapat orang tua saya. Dan beliau berpendapat bahwa, seharusnya kalau saya mengikuti progam itu, saya harus bersungguh-sungguh. Sayang, jika saya sudah berusaha namun saya tahu kalau pada akhirnya saya juga tidak akan pernah berangkat.

Saya memikirkan ulang ucapan beliau. Ada benar dan ada salahnya juga. Paradoks.
Benar dan salah pada waktu yang sama. Benar karena, seharusnya saya bersungguh-sungguh untuk berangkat. Menyiapkan segala hal. Mungkin saja, jika saya melanjutkan seleksi lebih jauh lagi, banyak peserta lain yang kemungkinan kesempatannya berkurang (padahal mereka bersungguh-sungguh untuk ikut) sedangkan saya sendiri hanya berniat untuk coba-coba. Salah karena, saya juga berhak untuk melanjutkan. Apapun alasannya. Karena, saya sendiri percaya bahwa tidak ada usaha yang sia-sia dalam hidup ini. Sekecil apapun usaha yang kita lakukan, pasti akan ada sesuatu yang kita dapatkan. Hitung-hitung, saya menambah pengalaman hidup.

Namun, pada akhirnya saya pun harus menentukan pilihan.
Dan, saat itu saya memilih untuk tidak melanjutkan seleksi tersebut.
Cukuplah bagi saya pengalaman untuk ikut seleksi pertama, bersaing dengan berbagai murid dari sekolah lain pada tahap pertama. Menjawab soal pengetahuan umum, bahasa Inggris, dan menulis esai. Setidaknya, saya sudah berani mencoba. Guru saya benar, alangkah lebih bijak jika kesempatan untuk seleksi kedua ini saya berikan pada orang-orang yang memang benar-benar niat untuk berangkat. Dan semoga mereka berhasil dengan tujuannya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS